Komisaris BUMN: Kompetensi atau Balas Budi?
Oleh: Dewi Royani, M.H
Lensa Media News – Dalam kehidupan yang paling sulit adalah jika kita berutang budi pada orang lain, karena utang budi seperti kata peribahasa “utang emas dapat dibayar emas, utang budi dibawa sampai mati.” Namun, peribahasa ini tampaknya tidak berlaku dalam politik demokrasi. Karena balas budi dapat dibayar dengan kursi.
Saat ini balas budi dibayar kursi sedang menjadi pembicaraan publik, mencuat seiring dengan penunjukan Abdi Negara Nurdin atau Abdee Slank menjadi komisaris PT Telkom Indonesia. Sebagai seorang musisi, Abdee dinilai tidak kompeten dalam mengisi posisi tersebut. Banyak yang menilai terpilihnya Abdee hanya merupakan politik balas budi atas kampanyenya mendukung Jokowi.
Dikutip dari Voi.id (31/05/2021), pengamat politik Igor Dirgantara mengkritik pengangkatan Abdee sebagai komisaris Telkom. Menurut Igor boleh jadi Abdee bukanlah orang yang tepat dalam mengisi posisi tersebut, tapi sebagai musisi, rekam jejaknya memang salah satu pendukung setia Jokowi dua periode berturut-turut. Abdee kompeten memainkan gitar dan menciptakan lagu dalam sebuah band, tetapi tidak punya kompetensi sama sekali sebagai komisaris di BUMN, baik secara manajerial ataupun fungsional (problem solver). Karena itulah, menurut Igor, pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN seyogyanya berterus terang kepada publik bahwa penunjukan Abdee sebagai komisaris Telkom adalah bagian dari balas budi politik.
Sejak 2014 Abdee bersama Slank telah berkontribusi pada kemenangan Jokowi dalam dua kali Pilpres. Sebagai relawan Jokowi, memang Abdee bukan orang yang pertama memperoleh posisi strategis di BUMN. Pada Desember 2020, sebanyak 18 relawan Jokowi masuk dalam jajaran BUMN. Salah satu di antaranya yang mendapat kritik karena dianggap tidak memiliki kompetensi adalah Budiman Sudjatmiko sebagai Komisaris Independen PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V). Dengan melihat adanya tren dari sikap pemerintah yang menarik relawan Jokowi di jajaran BUMN, ini semua memperkuat dugaan bahwa Abdee diangkat menjadi komisaris karena alasan yang sama yaitu balas budi politik.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, balas budi politik sudah menjadi pakem baku bagi demokrasi. Dalam politik demokrasi, ada jasa ada pula imbalan. Untuk memenangkan kontestasi, dibutuhkan corong-corong yang dapat memberikan pengaruh bagi masyarakat. Tentu saja, bantuan yang diberikan tidak cuma-cuma. Ada lobi-lobi dan kesepakatan yang harus dipenuhi. Karena itu, balas budi dalam demokrasi tak bisa dipisahkan.
Apa yang akan terjadi jika balas budi politik ini menjadi tren dalam suatu negara? Pastinya akan banyak masalah yang timbul, mulai dari pelayanan terhadap masyarakat akan menurun dan birokrasi akan lamban dalam berjalan, karena banyak orang yang sesungguhnya tidak bisa bekerja dengan profesional memaksakan diri untuk bekerja. Sungguh sesuatu yang sangat merugikan bagi bangsa ini jikalau para pegawainya banyak yang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Uang negara yang sesungguhnya uang rakyat, hanya akan habis di berikan dengan orang orang yang tidak profesional.
Jika para pejabat dipilih hanya demi balas budi, bukan tidak mungkin akan menghasilkan pemerintahan yang korup dan merugikan kepentingan publik. Keadilan dan kesejahteraan pun hanya jadi angan-angan rakyat karena pejabatnya hanya mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya. Hal ini pun semakin menegaskan bahwa pengelolaan negara dalam sistem demokrasi bukan untuk kemaslahatan rakyat, tapi demi kepentingan pihak tertentu.
Lantas, kemana rakyat akan menggantungkan harapannya? Kembali pada politik Islam. Politik Islam dibangun atas dasar akidah Islam. Politik Islam bertujuan untuk melaksanakan Islam di dalam negeri dan dakwah ke luar negeri. Dengan kata lain, politik Islam hakikatnya adalah pengurusan urusan umat berdasarkan kebenaran dan keadilan. Islam pun memposisikan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah Swt.
Pertanggungjawaban jabatan di hadapan Allah Swt. terkait dengan dua hal. Pertama, untuk apa jabatan itu diemban? Apakah untuk melaksanakan ketaatan pada Allah atau bukan? Kedua, bagaimana jabatan itu didapat dan dilaksanakan? Apakah dengan cara yang hak dan dilaksanakan dengan penuh amanah atau justru untuk berbuat kecurangan? Jikalau memenuhi dua aspek ini, jabatan akan membawa berkah buat yang bersangkutan, juga buat masyarakat luas. Jika tidak, jabatan itu justru akan membawa petaka di dunia dan akhirat.
Dengan demikian kita bisa menilai apakah keriuhan politik yang terjadi di negeri ini berjalan dalam rel yang benar atau tidak. Boleh saja orang bercita-cita atau meminta untuk memegang jabatan dalam pemerintahan. Namun, jika itu tidak dalam kerangka ketaatan kepada Allah dan diniatkan untuk menarik keuntungan pribadi, apalagi didapat dengan cara curang, maka jabatan itu pasti membawa petaka.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
[ah/LM]