Duka di Momen Bahagia, KapankahTiada?

Oleh: Retno Hanifah

(Pegiat Literasi Batam)

 

Lensa Media News – Idul Fitri tahun ini terasa lebih berwarna daripada tahun lalu. Meski pandemi masih melanda, masyarakat sudah bisa melaksanakan sholat Ied, berkunjung ke saudara dan teman dengan tetap waspada menerapkan protokol kesehatan. Memang ada larangan untuk mudik, namun setidaknya suasana Idul Fitri tak sesepi tahun lalu. Idul Fitri tahun lalu, semua orang benar-benar di rumah saja. Tak ada sholat Ied di masjid atau lapangan, tak ada kunjungan ke saudara maupun teman. Bahkan portal masuk perumahan pun ditutup petugas keamanan.

Suasana penuh warna di Indonesia ternyata berkebalikan dengan kondisi muslim di Palestina. Di bulan Ramadan, Israel kembali menyerang warga Palestina. Memang hampir setiap bulan Ramadan, berita penyerangan Israel terhadap warga Palestina selalu kita dengar.

Menurut dosen Politik Islam dan Studi Kawasan Timur Tengah Universitas Islam Indonesia (UII), Gustri Eni Putri, Israel tidak menyukai syiar ibadah yang dilakukan warga Palestina. Penyerangan Israel atas Palestina dimulai pertengahan April 2021 lalu. Memasuki bulan Ramadan, warga Palestina mempunyai kebiasaan berkumpul dan bersantai di kawasan gerbang Damaskus, Yerussalem. Yaitu sebuah wilayah penghubung Palestina dan Suriah. Melihat kerumunan warga Palestina ini, Israel tidak menyukainya. Selain karena tidak suka syiar Islam, tentu saja karena posisi Israel sebagai penjajah bumi Palestina. (Republika.co.id, 12/5/2021).

Idul Fitri yang harusnya diisi dengan bahagia, kini terasa hampa. Padahal menampakkan kebahagiaan saat hari raya sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, penduduknya biasa merayakan dua hari raya yang mereka isi dengan bermain pada masa jahiliyyah. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari dua hari raya itu; idul fithri dan idul adha.” (HR Ahmad no: 12006 dan yang lainnya).

Dalam kitab al Badru al Tamam dikatakan, “Pada hadis tersebut terdapat isyarat yang menunjukkan dianjurkannya berbahagia, menampakkan semangat pada dua hari raya.” (dinukil dari SyarhUmdah al Fiqh, 1/ 409)

Dari Aisyah ra, ketika para pemuda bermain di masjid pada hari raya, Rasulullah SAW bersabda, “Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita juga ada waktu bersenang-senang, sesungguhnya aku diutus dengan agama yang hanif”. (HR Ahmad no: 24855 dengan sanad hasan).

Namun, bagaimana mungkin kita bisa merayakan kegembiraan dengan leluasa? Sedangkan di belahan bumi sana, saudara-saudara kita merayakan Idul Fitri dengan menghadapi moncong senjata? Kegembiraan ini sebetulnya tak hakiki. Karena bagi muslim, satu terluka semua menderita.

Rasulullah SAW bersabda, ‘‘Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satut ubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukharidan Muslim)

Idul Fitri tahun ini mengingatkan bahwa umat Islam harus memiliki junnah atau perisai. “Sesungguhnya Imam atau Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya.” (HR Muslim).

Sejak runtuhnya Khilafah Turki Ustmani, negeri-negeri Islam bagai satu tubuh yang dicabik-cabik. Dipisahkan satu bagian dengan bagian lainnya. Dihalang-halangi persatuannya. Dijadikan momok, penerapan aturannya. Lantas, duka di momen bahagia ini, kapankah tiada? Tentu ketika _junnah_ atau perisai itu ada. Ketika persatuan umat di bawah Khilafah Islamiyah itu nyata. Akan ada Khalifah yang memerintahkan penjagaan darah dan bumi para warganya.

Idul Fitri tahun ini memang istimewa, banyak perjuangan yang harus dilakukan bersama. Berjuang untuk keluar dari pandemi dan berjuang untuk menerapkan semua aturan Ilahi.

Wallahua’lam bi ash-showab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis