Paradoks di Tanah Abang, Buah Aturan Sekular

Oleh: Uswatun Al Magfiroh
Mahasiswi

 

Lensa Media News – Dilansir dari Liputan6.com, Ahad, 2 Mei 2021 , negeri ini kembali terkaget oleh fenomena lautan manusia di pasar Tanah Abang Jakarta. Terlihat beribu manusia tumpah ruah di satu tempat, berjejal tanpa sekat. Jangankan social distancing , siapa saja bisa melihat tak ada, selain pemandangan sesak dengan hiruk pikuk yang nampak.

Lautan manusia itu bukan tanpa alasan berada di Tanah Abang, tak lain mereka tengah belanja keperluan lebaran khususnya masalah sandang. Ironinya ini terjadi di tengah santer-nya pandemi Covid. Apalagi diliput dari CNN Indonesia, Ahad, 2 Mei 2021, keramaian di Tanah Abang kendur akan prokes mulai dari pengetatan masker, cek suhu hingga jaga jarak. Secara logika saja semakin banyak pengunjung yang masuk, maka semakin sulit untuk melakukan social distancing, belum lagi kesadaran akan pentingnya penggunaan masker juga masih rendah. Sungguh sebuah paket komplit.

Kecemasan serta kekhawatiran tentang apa yang terjadi di Tanah Abang bukan tanpa alasan, menurut epidemolog, kerumunan dengan tidak mengindahkan prokes akan mengaktifkan bom waktu lonjakan Covid-19 (Kompas.com,3/5/2021). Dengan demikian sudah seharusnya setiap elemen negara baik individu, masyarakat dan negara berupaya keras dalam melaksanakn prokes, serta menghindari potensi terbentuknya kerumunan sesuai kemampuan yang disanggupi. Jika seorang individu maka ia harus memastikan dirinya telah menggunakan masker dengan baik dan benar. Jika masyarakat , maka tanggung jawab sebagai pengontrol sosial terkait adanya kelalaian yang mungkin dilakukan oleh individu harus di lakukan. Pun, negara memastikan bahwa berbagai kegiatan masyarakat yang ada tidak akan mengundang kerumuman dan memastikan bagaimana pandemi bisa cepat tertangani serta masyarakat tetap bisa terayomi dengan baik.

Dari sini dapat dilihat, bahwa peran terbesar ada pada kebijakan yang dibuat oleh penguasa , karena tanggung jawab mereka yang lebih besar. Sayangnya, di negeri ini banyak paradoks pandemi Covid-19 yang justru hadir dari pihak penguasa yaitu negara. Di tengah hiruk pikuk penjagaan penularan Covid dengan pembatasan mudik lebaran justru penekanan untuk meningkatkan pembelanjaan keperluan hari raya di dorong pada waktu yang bersamaan. Semua itu dengan alasan perbaikan ekonomi.

Padahal justru efek minimal dorongan tersebut telah nampak pada ironi Tanah Abang. Hasilnya bukan perbaikan ekonomi yang diharapkan, tetapi justru meningkatnya resiko penularan Covid-19 yang tentu akan berimbas pada pembiayaan negara. Namun, inilah paradoks di negeri kapitalis yang ekonominya terasa lebih penting dibanding nyawa manusia.

Nyatanya setiap kebijakan terkait Covid-19 dibarengi dengan embel-embel perbaikan ekonomi. Padahal dengan kebijakan yang setengah-setengah Covid-19 tidak dapat segera pergi selaras dengan bertambah buruknya perekonomian.

Kepelikan ini secara harfiah tidak muncul dengan instans. Lockdown total yang tidak konsisten adalah sumber awal wabah yang kemudian mengakibatkan pandemi merata ke penjuru negeri, diikuti berhentinya seluruh aktivitas ekonomi sehingga keduanya berujung collapse. Hal ini berbeda jika di awal lockdown dilakukan tegas di wilayah kemunculan saja. Sehingga aktivitas ekonomi di luar wilayah bisa menopang wilayah yang lockdown.

Tidak hanya itu sistem ekonomi juga harus ditopang oleh input yang kokoh seperti hasil pengelolaan SDA serta pertumbuhan ekonomi real. Bukan ditopang oleh pajak dan ekonomi non-real yang rapuh. Hanya saja hal ini tidak akan ada ketika kita hidup dalam naungan sistem kapitalis yang ditopang oleh hukum manusia serta menafikan hukum dari Sang Pembuat Hukum itu sendiri. Allah SWT.

Wallahu a’lam bish showab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis