Terpuruknya Umat Islam Tanpa Perisai
Oleh: Winda Oktavianti
(Ibu Rumah Tangga), Lembang
Lensa Media News – Ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Peribahasa ini seolah mencerminkan kondisi umat Islam saat ini. Semenjak runtuhnya kekhilafahan terakhir yaitu Daulah Khilafah Utsmaniyah dan berganti menjadi Republik Turki pada 28 Rajab 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924, kondisi umat Islam kian hari semakin terpuruk.
Perlahan namun pasti, umat Islam yang tidak lagi memiliki Khilafah sebagai perisainya, semakin dijauhkan dari syariat Islam yang selama ini mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Negara adidaya yang telah menguasai hampir 2/3 dunia selama 13 abad, kini tersekat-sekat menjadi negara-negara kecil dengan semboyan nasionalismenya. Segala penindasan dan diskriminasi seolah menjadi hal yang lumrah dalam sistem sekularisme yang diterapkan saat ini.
Umat Islam saat ini seolah menjadi ‘santapan’ kaum kafir penjajah. Mereka mendapatkan tindakan diskriminatif hanya karena sebagai kaum minoritas. Tindakan represif yang mendera umat Islam tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga terjadi di luar negeri. Terutama di negeri-negeri Islam yang sudah terpecah menjadi negara-negara kecil. Kita bisa melihat kondisi umat muslim di Suriah, Palestina, Rohingya, Uyghur dan sebagainya.
Perlakuan yang mereka dapatkan, menjadi bukti bahwa saat ini umat Islam semakin mengalami penderitaan. Tidak ada pembelaan yang ditunjukkan untuk melindungi mereka, baik dari penguasanya sendiri maupun tentara-tentara Muslim Lainnya. Tidak ada lagi penjagaan akan hak-hak dan kehormatan umat Islam. Ketiadaan Khilafah telah membuat nyawa umat Islam begitu murah di hadapan negara-negara imperialis. Padahal di mata Allah, hancurnya bumi beserta isinya ini lebih ringan dibandingkan dengan terbunuhnya seorang Muslim tanpa alasan.
Berbagai pelecehan dan penghinaan pun kerap diterima umat Islam dari kafir barat penjajah. Seperti halnya pelecehan dan penghinaan terhadap al-Qur’an dan Rasulullah Muhammad Saw. Bahkan di berbagai wilayah, wanita Muslimah kini tidak bebas lagi bahkan merasa terancam ketika mereka ingin menunjukkan identitas keislaman mereka di ranah publik. Alhasil, penjagaan kehormatan kaum wanita pun terabaikan.
Begitulah manakala umat Islam tidak memiliki lagi khilafah sebagai junnah (perisai) yang menaunginya. Sungguh benar apa yang dikatakan Imam al-Ghazali dalam kitabnya al Iqtishod fi al I’tiqod. Imam al-Ghazali mengatakan agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah dasar dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berdasar (tidak didasarkan pada agama) niscaya akan runtuh. Segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga (tidak ada Khilafah) niscaya akan hilang atau lenyap.
Ketiadaan Khilafah membuat umat Islam tidak bisa melaksanakan hukum-hukum Allah Swt. secara sempurna. Padahal hakikatnya, melaksanakan hukum Allah Swt. dalam segala perkara adalah wajib dan merupakan bentuk konsekuensi keimanan seorang Mukmin. Ketiadaan Khilafah juga telah mengancam akidah umat. Demokrasi, HAM, dijadikan Tuhan baru pengganti hukum Allah Swt.
Oleh karenanya, penjagaan terhadap kaum Muslim dan hukum-hukum Allah Swt. tidak mungkin diterapkan secara sempurna tanpa adanya Khilafah. Khilafah adalah institusi politik yang menerapkan syariah Islam. Hari ini syariah Islam hanya diterapkan dalam masalah moral, ritual, atau individual. Sebaliknya dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, tidak lagi menggunakan hukum Islam. Hukum Allah diganti dengan hukum kapitalisme-sekuler. Padahal, Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menerapkan seluruh hukum-Nya tanpa kecuali.
Tanpa Khilafah eksistensi Islam sebagai solusi persoalan umat dan pembawa rahmat bagi seluruh alam hilang. Mestinya umat memahami bahwa kekuatan Islam terletak pada sistem Khilafah. Umat Islam pun harus yakin bahwa kabar gembira yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw. berabad-abad yang lalu, “Kemudian akan ada Khilafah ‘ala minhajin nubuwah.” niscaya akan terwujud. Tidakkah kita merindukan masa kegemilangan Islam, yang menjadi mercusuar bagi peradaban dunia? Lalu, apalagi yang kita tunggu untuk ikut bersungguh-sungguh dalam upaya mewujudkannya? Wallahu a’lam.