Institut Literasi Khilafah dan Indonesia (ILKI) Gelar Webinar Bertajuk “Prospek Penelitian Sejarah Hubungan Khilafah dengan Nusantara”
Penulis: Anisa Fitriani
(Mahasiswi Sejarah UIN SGD Bandung)
Reportase – Di tahun baru 2021 ini, ILKI (Institut Literasi Khilafah dan Indonesia) telah menyelenggarakan Kelas Lingkar Kajian Sejarah (LKS) yang diselenggarakan dua kali (Sabtu, 02 Januari dan Senin, 04 Januari). Dalam webinar pertama, ILKI mengundang Nicko Pandawa (script writer film JKdN) sebagai narasumber yang mengangkat tema tentang “Prospek Penelitian Sejarah Keterikatan Nusantara dan Khilafah, Studi Kasus: Pasang Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilafah Utsmaniyyah Terhadap Rakyat Hindia-Belanda, 1882-1928.” Webinar pertama yang diselenggarakan ILKI ini dihadiri oleh kurang lebih 120 peserta. Kemudian pada webinar kedua, ILKI mengundang Septian A.W (sejarawan JKdN) sebagai narasumber dan mengangkat tema “Prospek Penelitian Hubungan Khilafah dan Nusantara.” Webinar kedua ini dihadiri oleh kurang lebih 85 peserta. Kedua webinar tersebut dipandu oleh Ilhamdi (alumni Sejarah FIB UI). Peserta yang menghadirinya pun begitu antusias.
Ini merupakan fenomena yang tak biasa. Pasalnya, di mana-mana kajian sejarah pasti langka peminatnya. Mungkin ini adalah blessing in disguise dari film JKdN yang berhasil mengimplus tumbuhnya minat di tengah-tengah masyarakat terkait dengan sejarah Islam, khususnya sejarah Khilafah.
Tentu saja dalam mempelajari sejarah, kita tidak hanya dituntut untuk menguasai belantara sumber dan fakta sejarah. Melainkan juga mesti menghidupkan jalan pemikiran yang tersembunyi dalam fakta sejarah. Tak terkecuali mengenai sejarah korespondensi Khilafah dengan Nusantara. Selain sangat melimpah sumber dan data sejarahnya, juga sangat rasional dan logis, bahwa kekhilafahan yang dipahami sebagai institusi politik Islam atau kepemimpinan global di seluruh kaum Muslim, pasti memiliki hubungan internasional dengan dunia luar, tak terkecuali dengan Nusantara. Konteksnya ketika itu bahkan Nusantara sudah menjadi komunitas global. Bentuk relasinya pun bermacam-macam, bisa dalam hal diplomasi politik, jaringan niaga/ekonomi, spiritual, jaringan intelektual sebagaimana yang telah diteliti oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Penelitian tersebut menjadi magnum opus, yang terus menantang penelitian dan kajian lanjutan.
Hal ini pun bisa kita temukan dalam penelitian skripsi Nicko Pandawa yang berjudul “Pasang Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilafah Utsmaniyyah Terhadap Rakyat Hindia-Belanda, 1882-1928″ yang menuai banyak pujian sekaligus kritikan dari kaum intelektual maupun masyarakat pada umumnya. Ini menandakan pengaruh hebat dari penelitian Nicko Pandawa yang serius menggarapnya dengan menghadirkan sumber-sumber sejarah yang melimpah.
“Penelitian-penelitian tersebut diharapkan menjadi pemantik sekaligus sumber inspirasi bagi kajian-kajian lanjutan mengenai korespondensi khilafah dengan Nusantara,” jelas Nicko Pandawa dalam webinar tersebut. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut juga telah menghidupkan dan menggairahkan kembali wacana sejarah di Nusantara dengan perspektif baru, global history (sejarah global). Namun menurut Septian A.W, sayangnya masih jarang sejarawan yang memandang tema keterkaitan Khilafah dengan Nusantara itu penting dan unik untuk diteliti. Sehingga tema ini tidak popular di tengah-tengah masyarakat. Optimis bahwa prospek penelitian ke depan akan semakin dinamis dan menemukan lapangan yang luas karena masih banyak fakta-fakta sejarah yang belum terungkap atau menuntut adanya kajian yang mendalam mengenai sejarah hubungan khilafah dengan Nusantara. Dengan demikian wacana terkait dengan khilafah, bukan sekedar sentimen. Melainkan benar-benar ilmiah dan akademis. Baik secara teologis maupun historis, eksistensi Khilafah dan hubungannya dengan Nusantara, tak terbantahkan. Adapun yang kontra terhadap wacana Khilafah akan menjadi penyeimbang wacana saja. Akhirnya penelitian-penelitian tersebut akan mengarahkan pada perdebatan yang lebih akademis dan ilmiah ketimbang hanya sentimen ataupun perdebatan-perdebatan yang bersifat teknis yang justru banyak menguras energi. [LM]