Penguasa Anti Kritik, Khilafah Solusinya

Oleh : Asha Tridayana
(Muslimah dari Pekalongan) 

 

Lensa Media News – Belum lama ini, pemerintah menyatakan akan mengaktifkan kepolisian siber pada tahun 2021. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Menurutnya, bersikap terlalu toleran akan berbahaya sehingga polisi siber berupa kontra narasi akan diaktifkan secara sungguh-sungguh.

Pengamat media sosial, Enda Nasution beranggapan negara memang perlu hadir di ruang digital, termasuk di media sosial. Karena ruang digital juga merupakan ruang publik yang membawa dampak signifikan pada beberapa aspek. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk patroli siber atau kampanye secara positif. Ditambah lagi, pemerintah harus dalam koridor hukum dalam melindungi kebebasan dan kenyamanan berekspresi, bukan melakukan represi. Masyarakat juga membutuhkan informasi dan edukasi untuk bijak bersosial media (www.kompas.com 26/12/2020).

Terlihat pemerintah mulai membatasi kebebasan masyarakat dalam beraspirasi termasuk di media sosial. Hingga dibentuk kepolisian siber demi mencegah beredarnya berita atau informasi yang dirasa berbahaya khususnya bagi pemerintah. Sehingga aktivitas sosial media masyarakat perlu diawasi sedemikian rupa. Namun, pada hakikatnya keberadaan polisi siber ini tidak akan mampu menyelesaikan persoalan. Karena sesungguhnya masyarakat sendiri sudah terlalu sering kecewa akibat berbagai kebijakan pemerintah yang merugikan bahkan menyengsarakan. Justru pembentukan polisi siber ini semakin menunjukkan jika pemerintah berusaha menutupi sederet kegagalannya selama ini.

Pemerintah hanya berdalih jika segala yang beredar di media sosial bisa mengancam keutuhan negeri atau membahayakan masyarakat. Padahal hal itu dilakukan semata-mata membungkam masyarakat yang ingin menyuarakan kebenaran dan ketidakadilan yang terjadi. Kebebasan beraspirasi hanya sebuah slogan dan hanya berlaku bagi mereka yang memberikan manfaat bagi pemerintah. Adanya polisi siber lebih menguntungkan bagi oknum-oknum pemerintah yang ingin melanggengkan kekuasaannya. Bukan demi masyarakat yang justru selama ini menjadi korban kezaliman penguasa negeri.

Tentu hal ini tidak terlepas dari dampak penerapan sistem demokrasi kapitalis yang selalu berusaha mengambil keuntungan di setiap kesempatan. Ketika merasa posisinya terancam berbagai upaya dilakukan termasuk pembentukan polisi siber yang akan membatasi ruang gerak masyarakat di dunia maya.

Padahal saat ini hanya media sosial yang mampu menerima segala keluhan masyarakat. Karena aspirasi langsung tak kunjung didengar. Para kapitalis yang selama ini menguasai negeri akan terbebas dari tuduhan-tuduhan , sementara polisi siber hanya akan bertindak pada mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Sehingga sistem kufur ini semakin langgeng dan mencengkeram kuat negeri ini.

Lain halnya dengan sistem Islam yaitu khilafah yang akan menjamin kebebasan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi ataupun kritikan terhadap pemerintah. Bahkan menjadi suatu keharusan jika penguasa melenceng, masyarakat wajib mengingatkan. Karena di dalam sistem Islam, tidak dibenarkan adanya kezaliman yang dilakukan penguasa.

Seorang pemimpin pun menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya dalam meri’ayah masyarakat yang kelak dihisab di akhirat. Sehingga seorang pemimpin tidak akan berani mendzalimi rakyatnya. Sebaliknya, senantiasa mengharapkan kritikan ketika terjadi kekeliruan dalam menjalankan kepemimpinannya.

Kondisi demikian akan melahirkan pemimpin yang amanah dan masyarakat yang taat pada pemimpinnya. Karena suara rakyat selalu didengarkan, pemimpin pun tidak segan menerima nasihat dan kritikan. Maka sudah saatnya mencampakkan sistem kufur saat ini yang selalu menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan.

Masyarakat semestinya semakin menyadari kebobrokan demokrasi kapitalis dan segera beralih pada satu-satunya solusi hakiki. Penerapan sistem Islam secara kaffah sebagai bukti ketundukkan total pada syariat Islam dan hukum-hukum Allah swt.

Seperti saat kepemimpinan khalifah Umar bin khatab yang menerima kritikan seorang wanita terkait pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Wanita tersebut membacakan firman Allah swt :
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisa’ 4:20).

Khalifah Umar pun menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.

Wallahu’alam bishowab.

 

[ry/LM].

Please follow and like us:

Tentang Penulis