Risalah Akhir Tahun 2020, Demokrasi Gagal Mencapai Tujuan Bernegara

 

Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

 

 

Lensamedia.com– Demokrasi sudah sekarat, terkapar tak berdaya dan ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat. Namun belum bisa tercabut secara tuntas hingga akar sebab kaum Muslim sendiri, sebagai pemegang taklif menegakkannya belum sadar. sebagian besar masih mengharapkan demokrasi mampu menunjukkan keajaiban perubahan. Padahal fix, sejak pertama kali diterapkan hingga hari ini demokrasi gagal mewujudkan tujuan bernegara, diantaranya mewujudkan keadilan, kesejahteraan, perlindungan, kemandirian bangsa.

 

 

Ibu Pratma Julia Sunjandari, S.P., seorang pengamat kebijakan publik pada digital event muslimah nasional Risalah Akhir Tahun (RATU) 2020 menyampaikan bahwa, demokrasi adalah sistem gagal, ada beberapa hal yang menunjukkan hal itu. Pertama, kesejahteraan. Dalam setahun jumlah rakyat miskin Indonesia sudah bertambah sekitar 2 juta. Dari 4 orang terkaya di Indonesia pendapatannya sama dengan 100 juta rakyat miskin. Ini artinya kesenjangan ekonomi kian dalam.

 

 

Dan perempuan yang menjadi bagian dari masyarakat, merasakan dampak yang luar biasa. Demokrasi tak menunjukkan belas kasihannya, contohnya TKW (Tenaga Kerja Wanita), mereka jauh dari keluarga, suami dan anak-anaknya hanya demi menanggung biaya hidup yang tak bisa dipenuhi oleh suaminya ataupun walinya. Padahal, kesejahteraannya belum tentu dijamin, di negeri orang nasibnya terkadang miris, dizalimi, diperkosa, gaji tak dibayar atau disunat agen. Bahkan bisa jadi berujung terbunuh atau bunuh diri.

 

 

Sedangkan Islam, selam 13 abad tak ada berita yang menyebutkan perempuan sengsara, justru banyak tokoh perempuan yang muncul dan sumbangsihnya terhadap peradaban dunia tak diragukan lagi. Mereka juga tak ada kewajiban finansial atas dirinya maupun keluarganya melainkan ditanggung oleh suami, wali atau kerabatnya dan terakhir negara. Seumur hidupnya.

 

Kedua, hukum di sistem demokrasi tidak ada keadilan. Tumpul ke atas, namun bagi rakyat yang bukan siapa-siapa tajam. Contoh kerumunan Covid-19 kemarin berbeda-beda. Para Muslimah yang kritis memberikan opini sudah langsung dihukum. Media massa dikuasai bukan untuk menebar kebaikan, melainkan untuk menjadi corong rezim, menyerukan hoax dan penyusutan Islam.

 

 

Ketiga, kemandirian sebagai bangsa, dengan dalih pembangunan kemudian membuka hubungan bilateral dengan negara lain, maksudnya investasi padahal ujungnya utang. Bahkan untuk sekedar memenuhi vaksin Covid-19, yang belum jelas kehalalan dan efektifitasnya, pemerintah sudah berutang. Soal utang, balita sampai nenek-nenek sudah dipaksa menanggung utang Rp20,5 juta perorang, padahal kita tidak merasa berutang. Kemandirian negara ini tergadai, sebab memang atas titah dari negara asing.

 

 

Keempat, problem persatuan, kita sudah melihat secara faktual, 1 Desember pemimpin OPM (Organisasi Papua Merdeka) mengumumkan hari kemerdekaannya. Negara di dalam negara, menunjukkan betapa lemahnya negara dalam menjaga setiap jengkal wilayahnya. Papua tak sejahtera, dan itu menjadi celah bagi negara lain untuk mengambil hati dan menyerukan pemisahan dari NKRI. Dan secara bersamaan menuduh khilafah sebagai biang pemecah belah bangsa.

 

 

Tak ada dalil yang bisa membenarkan, pertama khilafah belum ada, kedua sejarah tak mungkin terhapus selama 13 abad Islam berjaya dan menguasai 2/3 bumi, padahal di bawah kekuasaannya ada ribuan suku, bangsa, agama dan ras.

 

 

Sebagai Muslim harus meyakini bahwa syariat tak mungkin diganti dengan demokrasi, demikian pula demokrasi tak bisa dikompromikan sebagai sistem aturan bernegara. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (TQS. Al Baqarah: 42)

 

Demokrasi adalah sesuatu yang batil, Islam haq. Maka tak bisa disambungkan, mungkin masih ada kaum Muslim yang berharap ada perubahan dari parlemen. Namun, boleh dibuktikan anggota parlemen sendiri tak melihat kemungkin itu di dalamnya, meskipu sudah banyak kaum Muslim yang mengaku berjuang di dalam, dengan menjadi anggota parlemen. Namun mereka sebetulnya bisa melihat dengan jelas kemustahilannya.

 

Kita bisa lihat kembali pada perjalanan UU pornografi dari 1999 sampai 2005 masuk Prolegnas gagal. Ada pansus, 2008 diketok palu tapi ada hal-hal yang penting hilang yang harus dihilangkan yaitu pornoaksi hilang pornografi ada. Demikian pula dengan nasib minol yang haram bagi mayoritas masyarakat Muslim. Begitu masuk Prolegnas (program legislasi nasional), minol jadi halal, mencakup tempat-tempat wisata, artinya jika ada pengecualian, maka yang haram menjadi halal.

 

Lantas pertanyaannya siapa yang membuat hukum? Apakah manusia atau Allah SWT. Demokrasi justru membuktikan jika ia lahir dari proses pemisahan agama dari kehidupan, sekularisasi. Mungkinkah keinginan mewujudkan syariah, meskipun parsial akan terakomodasi dalam demokrasi? Tentu tidak, sebab demokrasi tidak menginginkan agama eksis dalam urusan bernegara, tapi setuju jika mengatur urusan invidu saja.

 

Akhirnya bisa disimpulkan, sekalipun banyak kaum muslim yang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif dan pejabat muslimnya taat secara individu bukan berarti memberikan harapan adanya perubahan bahwa syariat Islam ini bisa diadopsi menjadi hukum yang akan menaungi kaum muslim. Wallahu a’lam bish showab. [RA/LM]

#DemokrasiMatiKhilafahDinanti*
#DemokrasiSengsarakanPerempuan
#JayaDenganSyariatIslam
#IslamJagaPerempuan

Please follow and like us:

Tentang Penulis