Kontroversi RUU Minol, Siapa Diuntungkan?
Oleh: Fitri Al Hasyim
(Aktivis Muslimah)
Lensa Media News – DPR kembali menggulirkan rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama, walaupun tidak ada data yang menunjukkan jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol (nasional.tempo.co ,13/11/2020).
Hal ini justru menuai kontroversi sekaligus mengundang pertanyaan mengenai urgensi dari RUU tersebut. Mengingat minol adalah pelengkap hiburan yang memikat para wisatawan mancanegara sekaligus penghasil deviden yang begitu tinggi. Begitu pun bagi pemerintah, pajak minol adalah salah satu sumber pajak yang menjanjikan.
Para pengusung anti RUU minol gigih menyampaikan bahwa minol lebih banyak menciptakan kemudharatan dari pada kebaikan. Seperti yang dikatakan Wakil Sekertaris Jendral PPP Achmad Baidowi, RUU ini sangat urgent untuk menjadi undang-undang. Bukan hanya demi umat Islam, tapi juga generasi penerus bangsa. Keuntungan pariwisata tidak sebanding dengan rusaknya generasi (news.detik.com 19/11/2020).
Sungguh miris hidup di negeri mayoritas muslim, namun aturannya bukan berdasarkan Alquran dan Sunnah. Untuk mengatakan minol dilarang karena haram menurut syariat pun harus bersilat lidah. Bahkan beberapa partai mengingatkan partai pengusung RUU minol ini dengan keberagaman agama di Indonesia.
Sejatinya, undang-undang lahir dari sistem negara yang dianut. Jika sistem negaranya berdasarkan kapitalisme sekuler, maka undang-undang yang lahir adalah undang-undang yang hanya fokus terhadap keuntungan, bukan standar halal dan haram.
Problem dasar ekonomi adalah bagaimana agar kebutuhan manusia dan masyarakat terpenuhi. Menurut paham ekonomi kapitalis, kebutuhan manusia tak terbatas, sedangkan sarana pemenuhannya terbatas. Sehingga akan terlahir darinya problem kelangkaan (scarcity).
Maka, tiga problem fundamental, yaitu What (apa yang harus diproduksi), How (bagaimana cara memproduksi agar efisien), dan for Whom (untuk siapa produk tersebut) adalah berbicara masalah produksi, konsumsi, dan distribusi.
Ketiga permasalahan di atas, dijawab sistem ekonomi kapitalis dengan mekanisme pasar bebas. Yaitu sebuah mekanisme pasar yang melarang negara campur tangan terhadap perjalanan ekonominya. Negara cukup menjadi regulator yang mengatur kelancaran pasar bebas tersebut. Regulasi yang dibuat pemerintah tidak boleh menghambat laju perekonomian.
RUU pelarangan minol dianggap menghambat laju perekonomian. Karena menurut sistem ekonomi kapitalis, minol sangat menguntungkan. Alhasil, menurut mekanisme pasar bebas, selama ada permintaan terhadap minol, akan tercipta pula penawarannya. Itu artinya, produksi minol akan terus berlanjut selama masih ada permintaan. Dan permintaan terhadap minol semakin meningkat seiring dengan meningkatnya invansi budaya liberal di masyarakat.
Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjamin kehidupan ekonomi yang bebas dari krisis. Serta mengandung maslahat bagi seluruh umat manusia, baik muslim dan non muslim, sistem yang telah dirancang Allah SWT.
“ Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui? ” (QS al-Mulk [67]: 14).
Ketika Islam mengharamkan minol dan menyampaikan mudaratnya, hal itu sudah pasti yang terbaik bagi manusia. Sistem ekonominya pun berasaskan Islam yang juga memperhatikan komoditas apa yang akan diperdagangkan. Bukan hanya melihat keuntungan yang didapat.
Sistem ekonomi Islam melarang bisnis minol dan bisnis-bisnis haram lainnya seperti diskotik, prostitusi dan bisnis hiburan haram lainnya. Yang hanya akan mengantarkan masyarakat pada kemaksiatan. Produktivitas yang tinggi dari masyarakat disesuaikan dengan syariat, seperti diharamkannya kepemilikan umum dikuasai swasta.
Hal demikian akan membawa masyarakat Islam menuju kesejahteraannya. Sebab solusinya hanya ada pada Islam.
Wallahu a’lam bish shawab.
[LM]