Mengakhiri Kebakaran Hutan

Oleh: Kunthi Mandasari

(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Papua, pulau di ujung timur Indonesia kini tengah ramai diperbincangkan. Temuan pembakaran hutan oleh Greenpeace International dengan Forensic bergulir ke permukaaan. Ialah Korindo Group, anak usaha perusahaan asal Korea Selatan yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan. Perusahaan ini bergerak di bidang kelapa sawit.

Mengutip rilis dari situs Greenpeace, perusahaan Korindo memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua dan telah menghancurkan sekitar 57.000 hektare hutan di provinsi tersebut sejak 2001 (cnnindonesia, 13/11/2020).

Namun, pihak Korindo menolak tegas tidak melakukan pembakaran hutan. Bahkan mereka mengklaim pembukaan hutan yang mereka lakukan selama ini telah mengikuti prosedur yang ada. Meski berbagai bukti juga tidak bisa dinafikan begitu saja.

Hampir setiap tahun hutan Indonesia mengalami kebakaran. Asap mengepul dari wilayah Kalimantan dan Sumatera. Meski demikian, langkah hukum guna menghentikan pembakaran hutan masih sangat lemah. Alhasil, kebakaran senantiasa terus berulang.

Apalagi sejak UU Ciptaker resmi disahkan. Sejumlah pasal yang tertera justru berpihak pada korporasi. Bahkan memberi peluang terjadinya pengrusakan hutan dan mengabaikan Amdal. Jika Undang-Undangnya saja membolehkan adanya pengrusakan lingkungan, lantas akan seperti apa kondisi lingkungan hidup kita?

Keberadaan hukum seharusnya memberikan perlindungan terhadap manusia maupun alam sekitar. Namun, di tangan rezim sekuler kapitalistik berubah menjadi legalitas bagi aktivitas kerusakan. Alasannya tentu tak jauh dari keuntungan. Keberadaan pemerintah dalam sistem sekuler kapitalistik hanya berperan sebagai regulator. Memastikan para pemilik modal bebas menjalankan bisnisnya.

Hal ini sebagai bentuk balas budi atas dukungannya dalam meraih tampuk kekuasaan. Akibat pemilihan yang berbiaya mahal. Dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah makan siang gratis. Alhasil, apa pun kebijakan yang dikeluarkan senantiasa berpihak pada pemilik modal, bukan kepada rakyat.

Beginilah ketika aturan disandarkan pada akal. Berbagai kerusakan siap menanti. Sudah kodratnya akal manusia memiliki kemampuan terbatas, lemah dan serba kurang. Menentukan aturan bersandar pada akal justru memunculkan benih-benih perdebatan yang tiada berkesudahan. Maka sudah seharusnya aturan diberikan kepada pihak yang tidak memiliki kepentingan, ialah Allah Swt. Bukan yang lainnya.

Dari segi ekonomi, pembakaran hutan memiliki biaya yang rendah. Sangat memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarnya. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip ekonomi kapitalisme. Mengeluarkan modal sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Meskipun kerusakan lingkungan menjadi taruhannya. Sah-sah saja.

 

Lantas Masihkah Ingin Berhukum dengan Aturan Manusia?

Hutan Papua merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati tinggi. Lebih dari 60 persen keragaman hayati Indonesia, ada di Papua. Hutan Papua merupakan paru-paru dunia dan menjadi organ vital keseimbangan alam. Maka tidak seharusnya pengelolaannya diserahkan kepada swasta.

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis di atas menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Begitu pula SDA yang melimpah ruah di Indonesia. Masyarakat tidak boleh dilarang ketika memanfaatkannya. Namun agar pemanfaatannya bisa merata, pengelolaan bisa diwakilkan oleh negara. Lantas hasilnya dibagikan secara merata.

Hari ini ketika sistem sekuler kapitalistik yang diterapkan. Daerah-daerah yang memiliki kekayaan SDA justru berada dalam kemiskinan dan tertinggal. Tentu hal ini sengaja dilakukan agar mereka dengan mudah mengeruk kekayaan alamnya. Hal ini seharusnya dihentikan, bukan diberi keleluasaan.

Jika pembakaran hutan terus dilakukan, bisa dipastikan banyaknya kerusakan yang ditimbulkan di masa kini maupun masa mendatang. Pembakaran hutan harus dihentikan. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan penerapan Islam secara total. Ketika Islam diterapkan aturan akan ditegakkan tanpa memandang bulu.

Melalui Qadhi Hisbah atau hakim yang menangani penyelesaian dalam masalah penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan hak-hak rakyat seperti gangguan terhadap lingkungan hidup (pembalakan hutan, pembakaran dan lain-lain).

Vonis dapat dijatuhkan kepada pembakar hutan dan lahan di tempat kejadian perkara. Sanksi ta’zir cambuk, denda, penjara hingga hukuman mati. Tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkan. Prinsipnya harus bisa memberi efek jera. Sehingga kejadian serupa tidak akan terulang kembali.

Wallahu a’lam bishshawab. 

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis