Narasi Lalim Penguasa Zalim

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)

 

Lensa Media News – Kalimat good looking beradu cepat menjadi trending dengan kata got looking. Apa maksudnya? Ya, gara-gara lisan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi bahwa paham radikal masuk melalui orang berpenampilan menarik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang baik. Netizen merespon dengan berbagai cara, hingga ramai pula tagar mencari menantu atau calon suami yang good looking.

Sedang got looking adalah sindiran netizen untuk meng-counter pernyataan Kemenag saat menjadi Narasumber di salah satu stasiun televisi Nasional . Jelas maknanya adalah kebalikan dari good looking, sebab “got” dalam bahasa Jawa artinya saluran air kotor yang berasal dari limbah rumah tangga, tentu tak bisa bersanding dengan sesuatu yang good (baik).

MUI menilai pernyataan Fachrul itu sangat menyakitkan. “MUI minta agar Menag menarik semua tuduhannya yang tak mendasar karena itu sangat menyakitkan dan mencederai perasaan umat Islam yang sudah punya andil besar dalam memerdekakan negara ini dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata,” kata Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Junaidi (Gelora.co,4/9/2020).

Muhyiddin lantas menyinggung pemahaman Menag Fachrul Razi tentang isu-isu radikal. Sebab pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakpahaman Menag terkait Islam, amanahnya sebagai Menag dan pengelolaan data yang diterimanya. Terutama karena Menag memiliki latar belakang sebagai petinggi militer yang tentunya lebih paham bagaimana menciptakan stabilitas nasional, persatuan dan kemajuan di tengah kebineka tunggal ikaan.

“Menag tak boleh mengeneralisir satu kasus yang ditemukan dalam masyarakat sebagai perilaku mayoritas umat Islam. Sejak jadi Menag, yang dijadikan kambing hitam adalah umat Islam. Ia sama sekali tak pernah menyinggung pengikut agama lain melakukan kerusakan bahkan menjadikan rumah ibadah sebagai tempat untuk mengkader para generasi anti-NKRI dan separatis radikalis yang jelas musuh bersama. Menag menghilangkan semua stigma negatif tentang umat Islam yang beramar makruf dan nahi munkar demi tegaknya keadilan dan kebenaran di negeri ini,” tutur Muhyiddin.

Perkataan Muhyidin memang ada benarnya, sebab Menag Fahrur Razi memang tak berhenti di situ. Beliau masih melanjutkan dengan narasi bahwa radikalisme bisa masuk di lingkungan ASN. Maka perlu juga kewaspadaan, terutama terkait pemahaman atau pemikiran Khilafah tidak boleh dibawa ASN. Tak tanggung-tanggung, ia hingga meminta KemenPAN-RB atau instansi lainnya yang berkaitan menyeleksi ASN harus betul-betul memperhatikan itu.

Ada dua lembaga yang juga harus diperhatikan yaitu pendidikan dan rumah ibadah dari masuknya paham radikal (CNN Indonesia, 4/9/2020)

Adapun cara paham radikal masuk adalah melalui orang yang berpenampilan baik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang bagus. Si anak ‘good looking‘ ini, kata Fachrul, jika sudah mendapat simpati masyarakat bisa menyebarluaskan paham radikal. Dengan narasi-narasi yang digencarkan ini tak heran jika kemudian MUI berbicara, sebab sebagai Menag yang semestinya menciptakan suasana seimbang bertoleransi, justru menebar rasa was-was dan Islamphobia baik bagi Muslim maupun non Muslim.

Sekalipun sesudah huru-hara opini ini Dirjen Bina Masyarakat Islam, Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin berusaha mengklarifikasi, dengan mengatakan bahwa pernyataan Menag hanya ilustrasi, namun sudah terlanjur masyarakat melihat betapa “Blokosutha” keterus terangan Menag Fahrur Razi bukan sedang berada di pihak kaum Muslim, namun bisa jadi dia adalah salah satu dari pion bidak catur penguasa yang benci Islam dan sudah mendapatkan keuntungan dari tuannya, sang Kafir durjana.

Hal ini menjadi pelajaran bagi siapapun terutama jika ia memegang tampuk pimpinan umat, untuk selalu behati-hati. Sebab zaman sekarang terlalu mudah untuk mengetahui rekam jejak pandangan keagamaan ataupun komunitas masyarakat, atau kalimat-kalimat pengundang multitafsir makna.

Tak bisa dipahami, apa yang dimaksud dengan kata radikal versi pemerintah itu sendiri. Sehingga merasa perlu untuk fokus 1000 kali lipat menanganinya daripada menyelesaikan pandemi Covid-19 dengan cepat. Padahal lihatlah, negara ini menuju keruntuhan bukan karena ASN, generasi muda bahkan takmir masjidnya yang good looking, namun sebab sistem pendidikan, ekonomi, sosial dan yang lainnya yang diperankan penguasa dan korporasi. Mereka saling berebut pengaruh hanya agar mendapatkan keuntungan dari apa yang mereka usahakan. Tak ada yang salah, namun jika rakyat dan kepentingan umum yang dikorbankan jelas ini bentuk kelaliman yang harus segera dihentikan.

Wallahu a’ lam bish showab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis