Pilkada di Tengah Pandemi, Siapa yang Diuntungkan?

Oleh: Sri Retno Ningrum

 

Lensa Media News – Pandemi Covid-19 sudah menyebar di seluruh negeri dan banyak jumlah kasus meningkat setiap harinya. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mengurungkan niat penguasa untuk melaksanakan Pilkada (pemilihan daerah) 2020. Sesuai Perpu nomor 2 tahun 2020 pemerintah akan menyelenggarakan Pilkada serentak di 270 wilayah seluruh Indonesia.

Salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah agar tidak banyak kekosongan jabatan, karena saat kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah bukan tidak hanya legitimasi tak kuat dalam menjalankan roda pemerintah, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19 di daerahnya masing-masing. (times indonesia, 18/6/2020)

Sementara itu, mantan tokoh mahasiswa, Rizal Ramli dalam Diskusi Public Topic Of The Week untuk bertajuk “Refleksi Malari : Ganti Nahkoda Negeri?” Di posko Sekretariat Nasional (seknas) Prabowo sandiaga Uno, pada tanggal 15 Januari 2019 mengatakan bahwa demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena terlalu mengikuti sistem politik di Amerika serikat (AS). Akibatnya, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang. (berita satu, 15/1/2020)

Pemilihan Umum (pemilu) dalam sistem demokrasi memang dianggap cara yang tepat dalam memilih wakil rakyat. Kemudian, rakyat diminta memilih calon wakil rakyat. Calon pemimpin yang mendapatkan suara terbanyak akan dapat menduduki jabatan mulai dari Presiden dan Wakil presiden, Anggota Legislatif, Gubernur, Bupati hingga Kepala Desa.

Mereka pun dilantik dan menjalankan tugas sesuai janji-janji yang disampaikannya waktu kampanye pemilu. Akan tetapi, kenyataan yang ada banyak para wakil rakyat mengkhianati janjinya. Hal itu disebabkan karena pada saat kampanye mereka mengeluarkan modal yang besar dan modal yang dikeluarkan itu tidak hanya berasal dari kantong pribadi tetapi berasal dari para pemilik modal atau para kapitalis.

Sehingga ketika berkuasa tidak heran jika kebijakan-kebijakan yang ada banyak menguntungkan para kapitalis bukan rakyat. Selain itu, pemilihan umum di tengah pandemi tentu akan membahayakan masyarakat meskipun pemerintah berdalih akan menerapkan protokol kesehatan.

Hal ini membuktikan bahwa calon penguasa tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menduduki jabatan. Selain itu, adanya campur tangan para kapitalis tidak bisa dilepaskan untuk menyelenggarakan pilkada di tengah wabah. Sehingga meski pandemi mereka tetap mencari kesempatan untuk mengambil aset-aset negara melalui dilegalkannya UU yang berpihak pada para kapitalis atau pengusaha dari pada untuk kemaslahatan rakyat.

Maka, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilu dalam sistem demokrasi sejatinya hanya menguntungkan para Kapitalis. Sebaliknya, jargon yang dibangga-banggakan dalam sistem demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya topeng untuk menutupi keburukan sistem yang batil ini.

Sungguh, ketika sistem pemerintahan demokrasi yang berasal dari ideologi  kapitalisme (kafir penjajah) tidak akan membawa kesejahteraan pada rakyat. Karena kapitalisme menjadikan untung rugi untuk bertindak atau mengambil kebijakan.

Hal tersebut tentu berbeda ketika Islam diterapkan sebagai sistem untuk mengatur kehidupan dalam bingkai negara Islam (khilafah). khilafah menjadikan kedaulatan di tangan syara, sedangkan kekuasaan di tangan rakyat. Artinya, syariah Islam dijadikan hukum untuk ditetapkan dalam menyelesaikan masalah kehidupan.

Adapun untuk memilih penguasa dilakukan dengan cara baiat. Pemilihan khilafah dilakukan secara langsung. Majelis umat ditunjuk untuk menjadi wakil rakyat namun dengan biaya yang sangat murah dan efektif menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Islam mendudukkan kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Islam menetapkan batas kekosongan kepemimpinan 3 hari sehingga tidak perlu kampanye yang menghabiskan banyak dana. Adapun pemilihan wali atau pejabat pemerintah ataupun pemilihan lain untuk suatu wilayah atau provinsi serta menjadi Amir atau pemimpin wilayah tertentu ditunjuk khilafah untuk membantu mengurus pemerintahan wilayah daulah.

Begitulah tatacara pengangkatan khilafah dan penjabat lain dalam sistem Khilafah. Untuk itu, perlu bagi kita untuk meninggalkan sistem demokrasi beralih pada sistem Islam (khilafah). Karena Khilafahlah yang sudah terbukti memberikan kesejahteraan pada rakyat terlebih ketika terjadi pandemi.

Khilafah akan menjamin semua kebutuhan rakyat hingga selesai, bukan seperti sistem demokrasi yang selalu mencari berbagai kesempatan meskipun rakyat sedang mengalami kesengsaraan hidup.

Wallahu a’lam bishowab.

 

[ra/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis