Karena UKT, Kampus Biru Tak Lagi Dirindu

Oleh: Puji Rahayu
(Anggota Komunitas Setajam Pena)

 

Lensa Media News – Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Kalimat ini membuat diri kita semangat untuk belajar. Tidak hanya di negeri sendiri tetapi hingga ke seantero dunia. Ditambah lagi, tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. Seumur hidup terus belajar tanpa mengenal waktu dan usia.

Tetapi semangat belajar kini semakin memudar semenjak adanya pandemi Covid-19. Dimana semua dilakukan dari rumah. Seluruh pembelajaran dilakukan secara virtual atau daring. Di sisi lain, minimnya perhatian pemerintah menjadikan keadaan semakin rumit. Ketika sebagian masyarakat terkena PHK dan darurat perekonomiannya, biaya sekolah dan kuliah tetap dibebankan kepada anak didik.

Kala pandemi seperti ini, rakyat mengharapkan adanya keringanan biaya terutama untuk tingkat Perguruan Tinggi, yaitu ada penggratisan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan kebijakann selama masa pandemi ini, uang kuliah yang dikenal sebagai Uang Kuliah Tunggal ( UKT) dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Hal ini disampaikan oleh Plt. Direkrur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud, Prof. Ir. Nizam, dalam unggahan IGTV akun Instagram Kemdikbud.

Nizam juga menjelaskan, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri juga telah menyepakati untuk menerapkan 4 skema pembayaran UKT, untuk meringankan beban orangtua dalam melunasi kewajiban uang kuliah sang anak. Adanya penundaan pembayaran, pencicilan pembayaran, penurunan level UKT, bisa juga pengajuan beasiswa (kompas.com, 5/6/2020).

Diharapkan dengan adanya program ini, tidak ada mahasiswa yang drop out karena masalah perekonomian yang orang tuanya terdampak pandemi. Kebijakan ini diberlakukan setelah terjadi aksi demonstrasi di berbagai Perguruan Tinggi. Salah satunya, seperti dilansir bantennews (22/6/2020), demonstrasi terjadi di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dengan tuntutan pengratisan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Seperti yang disebutkan di atas tentang 4 skema pembayaran UKT, maka untuk mendapatkan bantuan dana UKT, ada sejumlah kriteria yang disyaratkan. Seperti dikutip dari kompas.com (21/6/2020), calon penerima harus dipastikan orangtua mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar UKT. Penerima dana bantuan UKT juga bukan mahasiswa tidak sedang dibiayai oleh program KIP Kuliah atau beasiswa lainnya. Penambahan jumlah penerima dana bantuan UKT akan diberikan sebanyak 410.000 mahasiswa (terutama Perguruan Tinggi Swasta) di luar 467.000. Dana KIP Kuliah Reguler tahun 2020 tetap diberikan untuk 200.000 mahasiswa baru yang menjalankan semester 1 di tahun 2020.

Kebijakan ini sangat terkesan tebang pilih. Padahal dampak perekonomian akibat Covid-19 dirasakan oleh setiap orang, seharusnya semua masyarakat mendapatkan keringanan bahkan penggratisan UKT, dan pelayanan yang baik dari akademik termasuk transparansi dalam pengelolaan PT. Serta, mendapatkan fasilitas yang sama selama proses pembelajaran meskipun dilakukan secara daring, misal pengratisan kuota internet sebagai bentuk penunjang. Namun, hal itu hanya angan semata, yang membuat mahasiswa merasa kecewa terhadap kampusnya. Kampus biru itu, tak lagi dirindu untuk kembali menghabiskan waktu belajar mahasiswa disana.

Bahkan, sekarang negara seakan lepas dari tanggungjawabnya. Sistem pendidikan yang berlangsung saat ini diserahkan kepada pihak swasta (pihak sekolah sendiri), sehingga pihak sekolah atau universitas pontang-panting mencari dana sendiri. Salah satunya dengan membebankan kepada anak didiknya.

Selain itu, ormas-ormas maupun lembaga kemasyarakatan mengambil alih tugas negara ini. Sekolah diibaratkan seperti mesin ekonomi yang siap menghisap uang masyarakat dalam bentuk pungutan-pungutan sekolah. Ini terasa wajar karena dalam proses pembelajaran dibutuhkan biaya termasuk gaji tenaga pengajar yang diluar PNS. Negara abai terhadap masalah ini hingga membiarkan masalah ini terkesan tumbuh subur. Dimana yang bermodal bisa saja mendirikan sekolah dengan konsekuensi yang nantinya akan menarik modal itu kembali dan berusaha mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan beban biaya sekolah atau kuliah.

Di masa Islam berjaya, tidak ada pungutan sedikitpun pada bidang pendidikan. Dari tingkat bawah hingga level tertinggipun semua biaya ditanggung negara. Begitu tinggi Islam memandang ilmu dan pendidikan. Disediakan sekolah-sekolah, universitas, perpustakaan, laboratorium dengan fasilitas lengkap dan canggih di seluruh pelosok negeri Islam. Gaji tenaga pengajar pun mencapai puluhan juta. Bila ada yang menulis sebuah buku, maka akan dibayar dengan emas seberat buku yang ia tulis. Karena dalam Islam tidak mengenal perbedaan kaya miskin. Semua yang berstatus rakyat, berhak mendapatkan hak yang sama. Baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan rasa aman. Negara akan menjamin kebutuhan rakyatnya.

Wallahua’lam bishowab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis