Pemimpin Bertakwa Bukan Lulusan Pandemi Covid-19
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensamedianews.com— Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah incumbent atau petahana dalam Pilkada 2020 yang tak maksimal menangani virus corona (Covid-19) di wilayahnya (CNN Indonesia, 22/6/2020).
Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah akan dilaksanakan pada 9 Desember mendatang. Tito memprediksi bakal ada 220 calon petahana yang kembali maju. “Kepala daerahnya tidak efektif menangani Covid-19, ya jangan dipilih lagi, karena rakyat membutuhkan kepala daerah yang efektif bisa menangani persoalan Covid-19 di daerah masing-masing berikut dampak sosial ekonominya,” kata Tito di Gedung Kemendagri.
Tito yakin isu tentang penanganan virus corona akan menjadi perhatian masyarakat luas pada pilkada kali ini. Setiap calon diprediksi akan memiliki program untuk menangani virus corona beserta dampaknya. Terutama calon petahana akan berupaya keras untuk menanggulangi virus corona dan elektabilitas para calon akan terpengaruh jika ada warganya yang menjadi korban virus corona.
Sungguh, ini merupakan pernyataan seorang pemimpin yang tak pantas dikemukakan di khalayak umum, sebab dangkal sekali dan tidak mencerminkan kenegarawanan seorang pemimpin. Sebab jika syarat bolehnya dipilih sebagai pemimpin hanya karena bisa menghentikan pandemi itu sama sekali tak berkorelasi. Sebab, pandemi Covid-19 bukan kontes yang harus diperebutkan calon pemimpin. Pandemi Covid-19 adalah masalah jaminan hidup mati manusia. Yang hari ini juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan negara.
Tentunya kita bisa melihat pada hadits berikut bagaimana kriteria seorang pemimpin yang semestinya kita pilih, “Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).
Jelas selain 7 syarat menjadi seorang pemimpin yaitu laki-laki, Islam, berakal, baligh, merdeka dan mampu, ia juga kelak harus menjadi junnah dan pelindung umat. Maka ia juga butuh sebuah pedoman guna mencapainya, pedoman itu haruslah syariat Allah. Sebab sebaik apapun seorang pemimpin ketika dia menggunakan aturan yang bukan berasal dari Allah maka ia tidak bisa dikatakan sebagai pemimpin yang baik. Bahkan bisa jadi ia akan menjadi pemimpin yang zalim dan jahil.
Banyaknya kegagalan pemimpin daerah hari ini dalam menangani masalah Pandemi Covid-19 bukan semata karena mereka tidak mampu tetapi mereka menggunakan sistem dan aturan yang tidak tepat sehingga bukannya solusi yang dihasilkan melainkan masalah di atas masalah. Terlebih orientasi pemerintah bukanlah untuk kemaslahatan rakyat namun lebih kepada manfaat materi.
Pemerintah pusat dengan sengaja memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatasi masalah pandemik secara mandiri, yang itu artinya memberikan peluang bagi wilayah yang surplus mampu segera keluar dari masalah, sedangkan yang minus akan tetap terpuruk. kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat juga dianggap tidak sinkron dengan fakta yang terjadi di pemerintah daerah sehingga menciptakan ambiguitas di dalam masyarakat. Misalnya ketika pemerintah daerah menetapkan tidak boleh moda transportasi beroperasi, namun justru pemerintah pusat membolehkan masyarakat “pulang kampung” bahkan kini di saat angka penularan Covid-19 masih tinggi, pemerintah justru melonggarkan PSBB.
Pencanangan PDBB pun ternyata lepas dari perhatian pemerintah. Meskipun pemerintah sudah mengeluarkan KIS (Kartu Indonesia Sehat, kartu pra kerja, BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau bansos, semuanya dilakukan setengah hati sebab tidak ada sinkronisasi data berikut jumlah dana yang mencukupi sehingga semuanya tidak didapat rakyat secara merata. Masih ada beberapa kasus yang muncul akibat PSBB ini, seperti masih tingginya angka kelaparan, buruknya pelayanan kesehatan, sistem daring yang memberatkan, pengangguran dan lain sebagainya.
Jika saja sejak awal pemerintah pusat menetapkan Lockdown maka pandemi ini tidak akan berkembang lebih luas lagi. Bahkan hingga memakan waktu lebih dari 4 bulan, belum juga menemukan data Covid-19 menurun. Hari ini Indonesia menjadi negara terbesar terpapar positif Corona. Kita bisa berkaca pada apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, ketika negara mengalami wabah Umar bin Khattab menetapkan beberapa wilayah di Lockdown sementara wilayah yang lain tidak. Sehingga ketika satu wilayah tidak boleh diakses oleh siapapun, negara menjamin kebutuhan pokoknya. Dan wilayah yang lain masih bisa melakukan aktifitas sosial dan ekonomi.
Hal yang demikian tidak bisa muncul dari pemimpin hari ini, sebab landasan berpikir mereka untuk mengeluarkan kebijakan adalah kapitalisme bukanlah Islam. Asas yang menonjol adalah kemanfaatan belaka. Maka bagaimana bisa berharap pada pemimpin yang keberhasilannya menangani pandemi hari ini saja masih mustahil terjadi kecuali keajaiban? Bagaimana bisa berharap pada pemimpin yang tak mampu menjadi pelindung dan pelayan bagi umat?
Dan hari ini Covid-19, mahluk Allah SWT membuktikan kegagalan sistem kapitalisme dalam mengupayakan perbaikan kesejahteraan bagi umatnya. Terlebih pada masa pandemi, justru kapitalisme menunjukkan kelemahannya. Tidak mampu bangkit sebagaimana seharusnya karena secara fitrah manusia tidak sesuai. Harapan satu-satunya ada pada sistem Islam. Sebagai pengganti sistem bobrok, tentu Islam akan sangat terbuka untuk dijadikan perbandingan dengan sistem hari ini. Islam berasal dari Wahyu Allah. Dan merupakan qiyadah fikriyah positif yang mampu dan telah teruji oleh sejarah mewujudkan peradaban mulia yang belum ada tandingannya sepanjang masa. Wallahu a’lam bish showab. [RA/LM]