Berlapis Keberkahan dalam Syariat Islam

Oleh: Ita Mumtaz

 

Lensa Media News – Wabah pandemi Corona (Covid-19) telah menelanjangi kelemahan dan kebobrokan kapitalisme dengan segala mekanismenya. Sekaligus menyibak fakta kegagalan sistem ini dalam melindungi nyawa dan harta manusia.

Gelombang badai Covid-19 masih menghantui penduduk dunia, termasuk di Indonesia. Situasi masih mencekam, namun pemerintah malah buru-buru mengadopsi “New Normal” dengan segala protokolnya.

Nampaknya , berputarnya ekonomi lebih berarti dari pada nyawa rakyat sendiri. Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bahwa protokol yang dibahas adalah upaya mengurangi PSBB yang bertujuan untuk memulihkan produktivitas (Detik.com, 19/05/2020).

 

Hakekat Wabah dan Upaya Penanganan

Wabah yang melanda umat manusia merupakan bagian dari ujian dan ketetapan dari Allah SWT. Manusia hanya bisa menerima qadha‘ yang digariskan dengan kelapangan jiwa serta rida atasnya. Ini adalah sikap dan keyakinan hati yang wajib terpatri dalam diri.

Bagaimana sikap manusia menghadapi badai ini pun ada tata aturannya. Syariat Islam memiliki seperangkat aturan bagi manusia dalam mengatasi dan mengendalikan wabah. Tinggal bagaimana menata hati agar tunduk patuh pada ketentuan Ilahi. Jika Syariat Islam diterapkan, maka sungguh akan didapati keagungan tak terperi. Manusia pun tak akan sudi memilih kapitalisme dan demokrasi untuk menata bangsa dan diri.

Hawa nafsu serta ambisi materi telah melingkupi sistem kapitalisme. Wajar jika penanganan wabah tak akan jauh-jauh dari aspek keuntungan duniawi. Menjaga dan memelihara nyawa manusia tak lagi menjadi orientasi. Mental rakus telah menjangkiti pejabat negeri. Mereka lantas membandingkan pasien meninggal akibat Corona dengan korban jiwa akibat kecelakaan. Sungguh perbandingan yang kurang bijak dan tidak tepat. Upaya menutupi kegagalan menanggulangi penyebaran virus terus berjalan. Bagi kapitalisme, nyawa tak lebih berharga dari proyek dunia.

Penjagaan agama pun tak ada ruang dalam Kapitalisme. Dengan rasa ringan tanpa beban masjid ditutup. Berharap tak ada lagi gelaran salat berjamaah dan salat Jumat. Tapi mengapa tempat-tempat nongkrong dan mall yang tak kalah ramai dengan masjid musti dibuka? Bandara, stasiun dan terminal pun terasa berat di hati jika harus ditutup.

Umat Islam layak kecewa ketika kebijakan yang ada penuh diskriminasi. Padahal para pemakmur masjid sudah merelakan diri demi kebaikan semua negeri. Protokol kesehatan pun ditaati agar wabah segera pergi. Namun, balasan yang ada ternyata mengoyak hati. Seolah masjid dituduh paling berpotensi menularkan wabah, padahal merupakan rumah Allah yang suci. Inilah kebijakan tak beradab dari kaum pembenci.

Sebenarnya penyumbang kesalahan terbesar adalah  pemerintah dengan segala kebijakan yang salah langkah sejak dari awal. Memang ini sudah terlanjur. Namun, harus selalu diungkit kembali agar dosa besar ini bisa memberi pelajaran bagi penguasa.

Mengapa sejak awal pemerintah tidak menutup akses dengan luar negeri? Bahkan terkesan santai dengan adanya virus membahayakan yang sudah nyata-nyata mengintai. Saat ini pun upaya yang dilakukan masih sangat minim. Padahal nyawa seorang manusia sangatlah berharga dalam pandangan Islam. Seolah buta nurani, penguasa lebih mengedepankan kepentingan ekonomi. Apalagi hanya memenuhi kepentingan ekonomi para pengusaha dan pemilik modal.

 

Syariah Islam Solusi Terbaik

Tiada solusi yang lebih baik dari syariah Islam dalam mengendalikan wabah. Tanpa mengurangi syiar Islam, termasuk ibadah salat berjamaah. Tetap dalam kerangka ubudiyah dan pemenuhan gharizah tadayun senantiasa terjaga. Nyawa pun tiada terancam, roda ekonomi tetap berjalan.

Sudah jelas termaktub dalam periwayatan. Bahwa Rasulullah menempuh cara karantina. Sebagaimana sabdanya:
Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu” (HR al-Bukhari).

Hal ini wajib diberlakukan agar wabah yang ada di suatu wilayah tidak meluas ke daerah lain. Karenanya, kewajiban pemerintah untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat tidak bisa diabaikan. Bagaimana rakyat bisa menetap di daerahnya jika kebutuhan hidup senantiasa menuntut untuk dipenuhi.

Sedangkan di daerah terjangkit wabah, tes masal perlu diselenggarakan dengan gratis oleh negara. Kemudian harus dipisahkan antara yang sakit dan yang sehat.

Dengan demikian, bagi mereka yang sehat tetap bisa menjalankan aktivitas normal dan produktif. Beribadah memakmurkan masjid, bekerja mencari nafkah, belajar di sekolah, mendatangi majelis ilmu.

Sungguh jika mau menggali syariah Islam, kemudian menerapkannya sebagai solusi kehidupan. Maka akan mendapatkan berhimpun kebaikan, berlapis keberkahan. Nyawa dan kesehatan rakyat terjaga, agama dan harta pun tetap terpelihara.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis