New Normal Life, Berdamai dengan Kapitalisme
Oleh: Siti Maftukhah, SE.
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Lensa Media News – Kapitalisme adalah sebuah sistem yang membentuk kesenjangan dalam masyarakat. Antara yang memiliki materi melimpah dengan yang memiliki materi hanya sedikit. Karena yang bermateri banyak akan lebih leluasa mengembangkan modalnya bahkan cenderung akan menindas kepada yang bermateri sedikit. Karena tidak ada aturan main dalam sistem kapitalis. Yang ada hanyalah kebebasan. Maka dikenalah “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Bahkan si kaya akan mudah mengintervensi kebijakan sebuah negara bahkan dunia.
Saat dunia menghadapi wabah pandemi Covid-19, tak lepas dari “kemauan” si kaya. Maka semua langkah yang diambil dalam penanganan wabah ini tak lepas dari mindset kapitalisme. Peluang untuk mendapatkan materi banyak dengan menindas kaum “minim materi”. Lihat saja, persoalan vaksin, obat-obatan, alat pelindung kesehatan dan lain-lain. Mereka meraup banyak keuntungan dengan menjual produk-produk yang dibutuhkan dalam pencegahan penyebaran wabah Covid-19 ini.
Memang hampir semua negara di dunia terdampak dengan adanya wabah terutama secara ekonomi. Oleh karena itu, dibuatlah langkah-langkah untuk menyelamatkan ekonomi dunia. Melalui lembaga legal internasional (baca PBB) dibuatlah skenario-skenario untuk menyelamatkan ekonomi dunia. Termasuk skenario yang diambil Indonesia, yaitu new normal life. Pada dasarnya, pemberlakukan new normal adalah untuk menyelamatkan ekonomi si kaya.
Di Indonesia sendiri, pemberlakuan kehidupan new normal tegak di atas karut marut penanganan wabah Covid-19. Lambatnya penanganan saat mulai munculnya wabah, keterbatasan alat pelindung diri (APD), pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bermasalah di sejumlah wilayah, kurang disiplinnya masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan (pelanggaran social distancing, pemakaian masker dan lain-lain) termasuk ketidakkonsistenan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Puncak pandemi sendiri sebenarnya juga belum terlihat. Bahkan beberapa kalangan menilai bahwa, new normal life akan menimbulkan gelombang wabah kedua. Penanganan wabah yang babak belur oleh pemerintah, ditambah ketidaksiapan pemerintah dalam hal sarana prasarana serta ketidakdisiplinan masyarakat akan menjadikan kebijakan berdamai dengan corona melalui new normal life hanya akan menjadikan rakyat sebagai “tumbalnya”.
Inginnya membangkitkan perekonomian yang terpuruk akibat wabah Covid-19, malah akan semakin memperburuk ekonomi. Karena rakyat sebagai salah satu pemutar roda ekonomi malah menjadi korban wabah.
Yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah menangani wabah dengan mengerahkan segala daya upaya yang dimilikinya. Negara harus melayani apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya dalam menghadapi wabah ini. Keberadaan rumah sakit yang memadai dengan segala fasilitas yang diperlukan, penyediaan obat-obatan, termasuk juga pemenuhan kebutuhan pangan dan lain-lain.
Bahkan jika perlu diberlakukan lockdown untuk membatasi penyebaran wabah. Dilakukan tes secara massal untuk memilah mana yang sakit dan sehat. Yang sehat dibiarkan beraktivitas dan yang sakit harus dikarantina untuk diobati.
Maka negara harus mengoptimalkan anggaran yang dimilikinya untuk penanganan wabah ini. Tidak malah menggunakan anggaran untuk sesuatu yang tidak penting di saat wabah melanda, misalnya pelatihan pra kerja, pemindahan ibukota dan lain-lain.
Rasanya sulit memang itu semua terwujud dalam sistem saat ini. Karena dalam kapitalisme, negara hanya menjadi fasilitator, penyedia pelayanan. Dan rakyat harus membeli pelayanan yang sudah disediakan oleh negara.
Maka, saatnya kembali pada Islam. Karena dalam Islam, negara atau penguasa akan melaksanakan amanah kepemimpinan dengan dorongan “akhirat”. Bahwa segala amanah yang diberikan kepadanya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Wallahu a’lam bish showwaab.
[ry/LM]