Ulama Protes , Ekonomi Diangkat Ibadah Dihambat

Oleh : Mita Nur Annisa

(Pemerhati Sosial)

 

LensaMediaNews – Kebijakan pemerintah seperti tumpang tindih dan benar-benar tak dapat memberikan solusi atas masalah yang terjadi selama pandemi Covid-19. Pasalnya, pemerintah memberi imbauan tentang PSBB, tetapi kebijakan tersebut seolah hanya condong pada satu sisi tetapi longgar pada sisi lainnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh para ulama (MUI, PA 212, Da’i) yang mempertanyakan kebijakan pemerintah yang hanya memihak kepentingan korporasi dan mengabaikan kepentingan rakyat serta menghambat kepentingan umat. Mestinya disadari kebijakan ini tidak menghantarkan pada solusi tapi malah memunculkan persoalan baru, gejolak rakyat.

Dilansir oleh tribunnews.com, 14 Mei 2020, wacana relaksasi tempat ibadah yang digaungkan Menteri Agama Fachrul Razi didukung oleh Persaudaraan Alumni 212. Menurut mereka jangan sampai ada pemerintah membuka akses bandara tetapi rumah ibadah tidak dibuka.

“Sebab kalau tidak, ini bisa jadi bom waktu pembangkangan massal umat Islam karena merasa ada diskriminasi kebijakan,” ujar Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif. Ia pun berharap wacana tersebut bisa cepat direalisasikan dan dikomunikasikan dengan pihak terkait termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hal itu yang mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI), meminta kejelasan dari pemerintah terkait kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal itu guna menindaklanjuti fatwa salat Jumat yang juga akan ditetapkan bila ada kejelasan sikap.

Bisa dipahami jika menyangkut kepentingan ekonomi, bisnis, dan investasi yang jelas-jelas memberi keuntungan bagi para pengusaha, bandara tetap dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Namun sayang, bila untuk kepentingan ibadah, bahkan yang wajib pun terpaksa umat Islam harus mengalah. Umat tidak boleh ke masjid dengan alasan hifzhu nafs (menjaga nyawa manusia).

Jelas sudah bagaimana rezim kapitalis sekuler memposisikan para ulama. Kedudukan ulama di hadapan negara hanya sekadar formalitas. Jika dibutuhkan, fatwanya diminta atas dasar kebijakan negara, jika tidak dibutuhkan maka pendapatnya tak dianggap. Negara tidak bersungguh-sungguh mendengarkan pendapat para ulama, menerima masukan, apalagi menjalankannya. Justru sebagaian ulama yang kritis dan menyampaikan nasehat dalam amar makruf nahi mungkar dianggap menentang pemerintah. Tentu ini membodohi dan menyakiti umat Islam.

Padahal, ulama adalah lambang iman dan harapan umat. Mereka tak kenal lelah memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Siang hari mereka habiskan untuk membina umat dan membentenginya dari kekufuran, kezaliman, dan kefasikan. Malam hari mereka duduk bersimpuh, juga sujud dan berdoa bagi kemuliaan umat Islam. Mereka adalah pewaris para nabi sebagaimana Rasulullah saw. bersabda :
Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Keberadaan ulama sangatlah penting, sebagaimana pula keberadaan para penguasa (umara) karena agama dan kekuasaan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Imam al Ghazali mengibaratkannya sebagai saudara kembar.
Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Ihya Ulumuddin; Juz 1).

Demikianlah Islam memosisikan para ulama. Hal ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan bagaimana pandangan sistem kapitalisme dengan rezim sekulernya. Di dalam Islam, ulama memiliki peran strategis yang akan memastikan penguasa selalu berada di jalan kebenaran dan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini karena mereka benar-benar melakukan amar makruf nahi mungkar dengan lisan-lisan mereka, hingga keluarlah nasihat dan kritik kepada para pemimpin tanpa memperhatikan apakah hal itu menyelamatkan ataukah membahayakan mereka.

Sungguh mulia apa yang disampaikannya. Mengingatkan penguasa untuk lebih memperhatikan akhiratnya. Dan sebaik-baik akhirat itu akan didapatkan penguasa ketika ia benar-benar menjalankan kepemimpinannya dengan amanah. Menjalankan fungsi raa’in (pengurus dan pengatur) dan junnah (penjaga dan pelindung) dengan sebaik-baiknya.

Sungguh, hanya sistem Islam yang akan memuliakan para ulama. Menempatkan mereka pada posisi terhormat sebagaimana Allah telah tetapkan untuk mereka. Hanya dalam Daulah Khilafah, hubungan ulama dan penguasa (umara) menjadi hubungan yang diberkahi dan dirahmati Allah.

Penguasa menjalankan amanah mengatur dan mengurus rakyatnya dengan sebaik- baiknya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sementara ulama menasihati penguasa, mengarahkan agar selalu berada di jalan kebenaran dan menerapkan hukum Allah secara menyeluruh bagi rakyatnya.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis