Diksi yang Tersembunyi
Oleh : Isnawati
Lensa Media News – Bermula pernyataan mengejutkan dari Presiden Jokowi melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5/2020), Jokowi meminta agar masyakat bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan. Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia itu harus diikuti dengan perekonomian yang berjalan. CNN Indonesia.com (9/05/2020)
Banyak pihak menilai pernyataan tersebut adalah diksi yang tersembunyi sebab membingungkan dan syarat dengan kepentingan. Pernyataan tersebut bertentangan dengan saat pertemuan virtual KTT G 20 pada Maret lalu. Dalam pertemuan itu Jokowi mendorong agar pemimpin-pemimpin negara KTT G 20 bekerjasama melawan Covid-19, kala itu memakai istilah perang melawan Covid-19.
Menyikapi dua diksi kontradiktif tersebut seakan ada pesan yang tersirat dalam kalimat damai dan perang, juga menunjukan adanya inkonsisten dan gagap dalam menentukan kebijakan. Istilah damai seakan menjadi alat untuk melegitimasi patuh pada pelonggaran PSBB agar masyarakat tetap produktif. Artinya rakyat didorong untuk memenuhi kebutuhannya sendiri di tengah pandemi, walaupun maut sedang mengintai.
Sebenarnya sejak awal pandemi, rakyat sudah berdamai dengan Covid-19, buktinya mereka masih berlalu lalang mencari nafkah, karena asasi yang belum terpenuhi, bantuanpun sengkarut sedangkan rasa lapar hadir tanpa kompromi.
Diksi damai pada virus Corona seakan ungkapan menyerah karena banyaknya sektor yang sudah lumpuh. Covid-19 bukan lagi sekedar masalah kesehatan tapi juga perekonomian secara global.
New normal life atau hidup berdamai dengan Covid-19 menjadi solusi dan merupakan konsep kapitalisme yang bertujuan materi. Skenario ini dibuat mulai awal Juni 2020 mendatang melalui conference bertajuk “Road Map Ekonomi Kesehatan Keluar Covid-19 yang dipresentasikan oleh Menko Perekonomian. Global-news (8 Mei 2020)
Konsep hidup berdamai dengan Covid-19 atau hidup normal baru dicanangkan oleh PBB. Konsep ini sama halnya dengan menerapkan konsep herd immunity (kekebalan kelompok), penanggulangannya mengharuskan wabah meluas hingga menyerang sedikitnya 70% populasi dan solusi ini sangat membahayakan. Inilah tujuan yang tersembunyi dari makna damai dengan Covid-19, sebagai upaya melepaskan tanggung jawab negara pada rakyatnya.
Penanganan wabah dalam Islam sangatlah berbeda, Islam meletakkan pelayanan pada rakyat adalah sebuah kewajiban yang kelak akan dipertanggung jawabkan.
“Seorang pemimpin adalah laksana penggembala yang akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhori dan Muslim)
Seorang Khalifah dalam Khilafah tidak akan bermain-main dengan ucapan dan kebijakan, memunculkan statement-statement yang membingungkan. Konsep Islam efektif, mudah dan terencana dalam semua masalah termasuk penanganan wabah.
Ada tiga tahapan penanganan wabah dalam Islam,
Pertama, penguncian area wabah. “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu wilayah maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya. (HR. Imam Muslim)
Kedua, adalah pengisolasian yang sakit. “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendatangi yang sehat.” (HR. Imam Bukhari)
Ketiga, adalah pengobatan hingga sembuh. “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Bukhari)
Lockdown dalam Syariat Islam totalitas, rakyat dipenuhi kebutuhannya, pandemi tidak akan berlama-lama hingga melumpuhkan semua sektor. Krisis akut multidimensi sistemik kapitalistik hari ini harus segera dilibas dan segera kembali kepada pangkuan Khilafah ala min hajjin nubuwah menuju peradaban yang tinggi dan jelas sebelum terjadi _ second wave pandemi, naudzubillah.
Wallahu a’lam bis swab
[el/LM]