New Normal, Ketenangan yang Palsu
Oleh: Emma Elhira
LensaMediaNews— Beberapa hari ini kita dibuat mengernyitkan dahi dengan istilah baru yang diluncurkan oleh pemerintah, yakni istilah ‘kurva landai’ dan ‘New Normal’.
Bahasan New Normal ini digulirkan pasca pemberitaan yang mengabarkan bahwa tingkat penyebaran Covid-19 di Indonesia mengalami kurva landai.
Terlepas apakah data kurva landai ini valid atau tidak, sebaiknya kita perlu menelaah lebih dalam lagi apa sebenarnya yang ingin disampaikan pemerintah tentang kehidupan new normal ini.
Kehidupan New Normal menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita, adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan penambahan diterapkannya protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Jika melihat dari kacamata ekonomi, perilaku ini memang cukup menggairahkan. Beberapa sektor yang mati suri selama diberlakukannya karantina wilayah kembali menggeliat. Pasar, pusat-pusat perbelanjaan dan dunia usaha mulai menampakan wajah aslinya. Orang yang sudah bosan berdiam diri di rumah sudah boleh beraktivitas seperti sediakala, sekolah yang lama dirindukan sudah mulai dibuka.
Namun, di balik semua itu bahaya virus Covid-19 masih terus mengintai. Penularan masih akan terus masif terjadi bahkan di seluruh antero nusantara tanpa lagi dapat dicegah. Sebab wabah ini belum nampak akan berakhir, dan vaksin Covid-19 pun belum ditemukan. Maka ketenangan yang dimunculkan pemerintah dengan mengampanyekan gerakan kurva melandai dan istilah new normal life pun adalah sebuah ketenangan yang palsu.
New Normal akan menggiring masyarakat pada sebuah aktivitas yang jauh lebih disiplin, hidup bersih dan lebih mementingkan kesehatan.
Namun rupanya pemerintah lupa, bahwa karakter masyarakat Indonesia tidak bisa disamakan dengan masyarakat negara maju lainnya yang tingkat kedisiplinan individunya tinggi.
Karakter masyarakat Indonesia cenderung ‘semau gue’, kurang disiplin dan tidak taat aturan. Belum lagi aturan yang dibuat pemerintah seringkali membingungkan yang pada akhirnya membuat masyarakat memilih jalan tengah.
Tentu hal ini yang tidak kita harapkan. Penyebaran Covid-19 terus berlangsung, angka yang terinfeksi terus melaju. Sedang masyarakat tak lagi mengindahkan protokol kesehatan karena menganggap semua sudah kembali normal.
Bisa dipahami, di tengah makin terpuruknya ekonomi negara, rasanya itulah mengapa pemerintah sangat tergoda untuk segera menghadirkan kehidupan normal baru.
Ditambah mulai nampak pergerakan kurva yang makin menurun dan melandai di beberapa negara. Namun sesungguhnya itu tidak bisa menjadi acuan untuk diberlakukannya New Normal Life dan akan merelaksasi aturan PSBB.
Sebab angka kasus terinfeksi di negara ini masih cukup tinggi, per tanggal 21/5/2020 saja terjadi peningkatan yang sangat signifikan bahkan mengalami rekor tertinggi yakni sekitar 974 kasus.
Semoga pemerintah kembali memikirkan secara matang wacana digulirkannya new normal life ini. Pemerintah seyogyanya lebih mementingkan nyawa masyarakat ketimbang mementingkan sektor ekonomi.
Ada yang lebih perlu dipertimbangkan dari sekadar urusan ekonomi, tapi ratusan ribu nyawa masyarakat Indonesia yang menjadi tanggungan negara untuk melindunginya.
Sebagaimana Islam lebih menghargai dan mengutamakan nyawa setiap individu baik muslim maupun non muslim. Lebih mendahulukan kebutuhan hidup umatnya ketimbang kepentingan segolongan orang. Wallahu a’lam bissowab. [RA/LM]