Ada Permainan di Balik Impor Alat Kesehatan
Oleh: Ita Mumtaz
LensaMediaNews— Masih ingat kagetnya sang Gubernur, Ganjar Pranowo? Ketika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) kedatangan bantuan 10 ribu alat pelindung diri (APD) dari China. Ternyata APD itu made in Indonesia. Ceritanya, Indonesia hanya sebagai tempat produksi saja. Bahan baku dikirim dari negara lain, kemudian Indonesia yang membuat, dan hasilnya dikirim ke negara pengirim bahan baku.
Setelah itu, impor besar-besaran akan dilakukan oleh para mafia dengan segala konspirasinya. Kondisi rakyat yang terjepit tak lagi mampu menundukkan rasa tamak yang melilit.Tak peduli bagaimana masyarakat menjerit merasakan pahit getirnya hidup, yang terpenting bisa mendulang profit.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan penyebab Indonesia sangat ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan (alkes). Porsi impor barang tersebut mencapai 90% dibandingkan yang bisa dipenuhi dalam negeri.
Bahlil pun buka-bukaan tentang permainan ini. “Dari dulu saya juga salah satu pengusaha tahun 2006, itu main barang ini. Aku tahu betul ini barang permainannya bagaimana. Sengaja ini industrinya nggak dibangun,” kata dia dalam rapat kerja (raker) virtual dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (Detik.com, 23/4/2020).
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Erick Thohir, bahwa ia melihat ada mafia-mafia besar, baik global dan lokal yang bergabung dan akhirnya membuat bangsa ini hanya sibuk berdagang bukan sibuk memproduksi. Mafia diberantas dengan membangun industri lokal, industri farmasi, sehingga bisa memproduksi sendiri kebutuhan Indonesia. (Kompas.com, 18/04/2020)
Sungguh ironi negeri ini. Para pejabat dan penentu kebijakan telah mempertontonkan drama yang berjudul “Pengusaha untung, rakyat buntung.” Ridwan Kamil sebenarnya telah menyampaikan bahwa PT. Pindad bekerja sama dengan UI dan UGM bisa memproduksi 200 ventilator per bulan. Sementara PT. DI bekerja sama dengan ITB juga yayasan Salman ITB bisa memproduksi 500 ventilator perminggu.
Tapi nampaknya pemerintah tetap melakukan impor alat kesehatan dan obat-obatan. Padahal dalam kondisi genting seperti ini, justru harus menggenjot produksi dalam negeri dengan upaya maksimal. Mengingat dana yang digunakan untuk impor tidaklah sedikit. Sementara kebutuhan untuk menangani wabah begitu besar, termasuk membantu rakyat kecil yang kehilangan pekerjaan sehingga tidak ada pemasukan sama sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Apa yang disampaikan para petinggi negara memang kenyataan yang tak bisa ditutupi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Erick Thohir, bahwa negeri sudah lama menjadi lahan subur para mafia impor, termasuk impor alat kesehatan. Yang demikian niscaya terjadi di negeri penghamba demokrasi kapitalis.
Tak hanya alkes dan obat-obatan yang impor. Hampir semua komoditas dan kebutuhan dalam negeri didatangkan dari impor. Sebagai contoh, meski dikenal negara agraris, herannya beras pun harus membeli dari negara tetangga. Mengapa tidak memberdayakan para petani sendiri? Padahal sektor pertanian adalah bidang terpenting yang dibutuhkan untuk peningkatkan ketahanan pangan.
Apalagi dalam kondisi wabah seperti saat ini. Seharusnya petani yang justru diberi subsidi berupa pupuk, bantuan irigasi dan lain-lain. Bukan malah mengucurkan dana segar untuk pengusaha. Mereka begitu banyak melakukan konspirasi perdagangan dan mengeruk kekayaan. Tak mempedulikan lagi kondisi rakyat jelata yang sedang di ambang kelaparan.
Karena jiwa-jiwa kapitalis telah merenggut nurani kemanusiaan. Begitulah karakter kapitalisme. Semakin banyak harta di tangan, kian tamak dan rakus jiwa-jiwa yang gersang. Sesuai namanya, sistem hidup ala kapitalisme hanya memburu materi. Pemerintah pun tak lagi bersikap melindungi dan mengayomi.
Negara dalam hal ini hanya melakukan regulasi seenak hati. Penguasa yang sebenarnya adalah sang pemilik modal, para kapital sejati. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan yang ada selalu menguntungkan para pengusaha. Jika terlihat memperhatikan kepentingan rakyat, maka itu sebatas tebar pesona. Seperti biasa, rakyat hanya pasrah meski tak rela.
Semakin terpuruk kondisi keuangan serta begitu kuatnya ketergantungan pada asing, maka di tengah kondisi wabah pun karakter asli sistem buatan manusia ini tak bergeser. Tetap memberi ruang lebar bagi para pemilik modal untuk mengokohkan guritanya.
Demikianlah, manusia sungguh tak layak berharap kepada penguasa dan sistem kapitalisme. Sudah saatnya rakyat membuka mata hati dan menjernihkan pemahaman, bahwa kezaliman dan ketidakadilan akan selalu mendera manakala tetap menjadikan kapitalisme sebagai tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hanya Islam yang bisa menjadi solusi atas segala problem yang terjadi. Karena Islam memiliki paradigma khas yang tidak ada dalam sistem kehidupan lain. Bahwasanya segala urusan, kepentingan dan kebutuhan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin. Islam memandang pemimpin sebagai pelayan umat.
Sebagaimana Rasul Saw. menegaskan dalam sabda beliau. “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad).
Gambaran seorang pemimpin Islam hanya bisa disaksikan langsung dalam penerapan kehidupan Islam. Yang telah tercetak dalam lembaran sejarah Khulafaur Rasyidin. Tak lama lagi kegemilangannya akan mewarnai kehidupan muslim, yakni ketika Khilafah Islam kembali terwujud di tengah kehidupan manusia. Wallahu a’lam bish-shawwab. [RA/LM]