BLT Dana Desa: Tuai Masalah Baru, Banyak yang Tak Tersentuh

Oleh: Sholihah, S.Pd
(Institut Kajian Politik dan Perempuan)

 

LensaMediaNews— Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah banyak memengaruhi tananan perekonomian, mulai perekonomian keluarga sampai perekonomian negara bahkan dunia. Tak sedikit fakta tersuguh di depan mata baik di layar kaca maupun media sosial, rakyat kecil kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Ada keluarga yang diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar, ada juga yang sampai mati karena kelaparan.

Bak jamur di musim penghujan, masalah-masalah kemiskinan dan kelaparan semakin banyak yang muncul ke permukaan. Tentu hal ini membuat pemerintah tidak tinggal diam, berfikir untuk menyelesaikannya. Berbagai kebijakan terus digulirkan meski menuai tanda tanya dan pro kontra, mulai dari perealisasian kartu pra-kerja, bagi-bagi sembako di jalan, hingga berbagai Bansos, yang salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa (BLT DD).

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengatakan BLT DD merupakan Bansos yang pertama kali diterima oleh keluarga terdampak di saat pandemi Covid-19 (Beritajatim.com, Selasa, 05/05/2020)

Tak luput dari ingatan kita, bagaimana lagak orang istana ketika pandemi Covid-19 mulai menyapa Indonesia, terkesan meremehkan dengan dijadikan bahan candaan, tidak fokus untuk menyelesaikan. Terlambat penanganan di awal, kini masalahnya semakin runyam, tak hanya masalah pandeminya yang harus diselesaikan, terlebih adalah masalah sosial ekonomi masyarakat yang harus diselamatkan.

Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa (BLT DD) untuk keluarga terdampak harus segera disalurkan, tidak hanya demi meyelamatkan ekonomi masyarakat akan tetapi juga menyelamatkan nama baik pemerintah. Bagaimana tidak, dengan serangkaian alur peritiwa membuktikan bahwa BLT DD untuk keluarga terdampak di saat pandemi Covid-19 merupakan program cuci tangan pemerintah dari ketidakseriusan dan lambannya menangani pandemi Covid-19.

Serba telambat, penanganan pandemi Covid-19 yang terksesan lamban tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga tertentu saja, hampir seluruh keluarga juga merasakan dampaknya. Memang ada dampak yang akut dan ada yang ringan. Fokus penyelesaian masih pada dampak yang akut supaya tidak sampai terjadi kematian.

Paceklik, diksi yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Indonesia sebagai Zamrud Khatulistiwa harusnya mudah mengatasi kondisi paceklik ini jika pengurusan negara tepat. Sayangnya Indonesia dengan segala potensinya menjadi tak berdaya akibat kepengurusan negara diberikan kepada para korporasi. Pihak korporasi Indonesia telah menjualnya kepada korporasi dunia dalam bentuk hutang. Kini kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki tak lagi bisa menyematkan hidupnya sendiri.

Sejatinya Sumber Daya Alam seperti emas, gas alam, minyak bumi dan lain-lain adalah milik rakyat, masuk dalam kepemilikan umum, tidak pantas siapapun bahkan negara memanfatkan atau menjualnya. Harusnya dikelola oleh negara dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jika pengelolaan ini tepat maka menjadi hal yang mudah bagi Indonesia untuk keluar dari kondisi paceklik ini. Kalaupun mau dihitung, mulai dari tambang emas hingga tambang batubara hasilnya lebih dari cukup untuk menghidupi rakyat Indonesia di masa pandemi. [RA/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis