Pemberi Harapan Palsu bagi Problem Kemiskinan Perempuan

Oleh: Ita Mumtaz

 

LensaMediaNews – Tentang kemiskinan. Sebuah kondisi yang membuat sedih nan pilu setiap nurani manusia yang menatap. Apalagi yang tengah berjibaku di dalamnya. Selalu bergelut dengan raga yang menuntut untuk dipenuhi segala kebutuhan. Sungguh, pahit getir kehidupan miskin telah dirasakan oleh penduduk sedunia, termasuk para perempuan. Di Indonesia pun kasus kemiskinan tak kalah menganga, ada berjuta angka.

Bank Dunia merilis laporan bahwa masih ada 802,1 juta lebih orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di 15 negara antara tahun 2000 dan 2015. Untuk Indonesia, Bank Dunia dalam laporan berjudul “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” menyebut bahwa sebanyak 115 juta atau 45 persen masyarakat Indonesia berpotensi menjadi miskin kembali. Mereka ini adalah orang yang telah keluar dari kemiskinan tetapi belum mencapai tingkat ekonomi yang aman. (Tempo.co, 27/12/207)

Kemiskinan memang masih menjadi masalah besar bagi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Problem ini akan berimbas pada permasalahan bangsa yang lain,  baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan masih banyak lagi. Kaum feminis hadir menawarkan segalanya, di tengah-tengah perempuan dunia untuk membebaskan mereka dari jerat kemiskinan.

Muslimah pun bergegas menyambutnya bak pahlawan berjasa. Bermula dari digelarnya Konferensi Perempuan tingkat Dunia di Beijing. Tujuannya adalah untuk mempercepat pelaksanaan kemajuan kaum perempuan yang telah dibahas dalam Konferensi di Nairobi, 1985. (Mediakita.id, 13/03/2019)

Konferensi yang dihadiri 189 negara anggota PBB ini kemudian menyepakati sebuah Kerangka Aksi (Beijing Platform for Action/BPfA) sebagai upaya mewujudkan persamaan harkat dan martabat kaum perempuan dan meningkatkan akses serta kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Dalam BPFA, perempuan nampak menjadi sorotan utama. Mereka meyakini bahwa kemiskinan perempuan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup dan partisipasi mereka dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan. Artinya,  perempuan dituntut untuk terlibat total dalam menyelesaikan problem kemiskinan global dengan cara ikut aktif dalam kegiatan ekonomi atau produksi. Hal ini secara masif diaruskan melalui berbagai agenda menarik supaya para perempuan menyambut sepenuh hati.

Termasuk mengucurkan bantuan modal usaha kepada majelis-majelis taklim atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan. Dikatakan, hal ini akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara dan menghapus problem kemiskinan dunia secara perlahan. Seiring dengan ini, propaganda kesetaraan gender senantiasa digaungkan.

Sehingga mindset tentang perempuan berdaya dalam versi kapitalisme akan lebih menancap dalam benak muslimah. Perempuan berdaya menurut kapitalis adalah mereka yang produktif menghasilkan materi. Kemudian mereka akan menjadi kalangan yang lebih bermartabat. Kian besar jumlah pundi-pundi rupiah yang dihasilkan, mereka semakin dihormati.

Sebaliknya, seorang ibu yang “hanya” di rumah sibuk melayani suami dan mendidik anak, bahkan dianggap membebani perekonomian keluarga. Sesungguhnya apa yang mereka dengungkan adalah kepalsuan belaka. Faktanya, kemiskinan yang terjadi tak ada hubungannya dengan keterlibatan kaum perempuan dalam proses produksi atau kegiatan ekonomi.

Ide kesetaraan  gender yang ditawarkan justru sangat membahayakan bagi muslimah. Perempuan dieksploitasi menjadi mesin penggerak industri kapitalisme sekaligus menjadi objek pasar mereka. Fitrahnya sebagai perempuan dan ibu pun akan tergerus karena mereka berbondong-bondong menyambut seruan kapitalisme untuk menjadi perempuan yang berdaya.

Padahal mereka sejatinya lebih dibutuhkan perannya sebagai pencetak generasi terbaik pembangun peradaban mulia. Lantas apa yang menjadi akar penyebab kemiskinan perempuan? Sesungguhnya kemiskinan yang terjadi tidak hanya menimpa kaum perempuan. Tapi masyarakat secara keseluruhan.

Tidak lain yang menjadi biangnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme global. Aturan liar penuh kerakusan dan tidak berdasar pada ketetapan Sang Pencipta inilah yang menebar ketidakadilan dan kemiskinan di berbagai belahan dunia. Penerapan sistem ekonomi Kapitalisme pada dasarnya adalah penjajahan negara Barat terhadap dunia Islam serta penguasaan sumber daya alam dan pasar dunia Islam oleh negara Barat.

Betapa besar sumber daya alam di negeri-negeri muslim yang dikuasai oleh pengusaha asing. Mereka adalah penjajah yang memiliki perpanjangan tangan dari kalangan muslim sendiri, yakni rezim penguasa yang menjadi antek Barat. Keberadaannya justru semakin mengokohkan hegemoni kapitalisme di negeri-negeri Islam

Kini saatnya menyadarkan umat akan cengkraman para penjajah yang kian nyata. Bahwa selama kapitalis tetap menancapkan kuku-kukunya, maka problem kemiskinan yang menimpa umat, termasuk perempuan tak akan pernah terselesaikan. Untuk itu dunia Islam secara keseluruhan harus terbebas dari penjajahan Barat.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis