Penguasa “Nyambi” Pengusaha
Oleh: Arimbi
LensaMediaNews— Jumlah pasien yang positif terinfeksi virus corona (Covid-19) di seluruh Indonesia mencapai 2.092 orang hingga Sabtu (4/4). Termasuk di dalamnya adalah para petugas medis antara lain perawat dan dokter yang bertaruh nyawa.
Salah satu penyebab utama petugas medis rentan terinfeksi virus ini adalah minimnya alat pelindung diri (APD). Padahal mereka adalah ujung tombak dalam menghadapi pasien terduga terpapar virus covid-19. Merekalah yang berhadapan langsung dengan penderita, jika mereka tidak menggunakan APD, tentu resiko terpapar sangat tinggi mengingat transmisi lokal covid-19. Ibarat perang, mereka maju ke medan pertempuran tanpa pertahanan. Kekurangan APD tidak hanya mengancam para tenaga medis, tetapi juga menempatkan masyarakat umum terhadap risiko yang lebih serius. Sebab, jika petugas medis sakit dan tidak mampu merawat, ada lebih banyak pasien yang kemungkinan akan sakit dan tidak dapat diselamatkan.
Bukan rahasia umum tentang kurangnya APD ini, banyak pihak yang mengeluh tentang keterbatasan APD di tengah melonjaknya jumlah pasien covid-19. Permasalahan minusnya APD ini tidak hanya dialami bangsa Indonesia, namun seluruh dunia. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesusthe mengatakan, kekurangan alat pelindung diri (APD) di dunia menjadi ancaman paling mendesak dalam kemampuan kolektif untuk menangani penyakit Covid-19. (kompas.com, 28/03/2020)
Disinilah ironi yang terjadi, alih-alih berpikir tentang menambal kekurangan APD dalam negeri, justru wacana ekspor APD yang digaungkan oleh penguasa. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Indonesia punya peluang untuk menyuplai alat pelindung diri (APD) dan hand sanitizer bagi negara lain yang tengah dilanda pandemi virus corona. Alasannya, Indonesia punya pabrik dan infrastruktur untuk memproduksi barang yang kini dibutuhkan dunia itu. (JPNN.com, Jumat, 27 Maret 2020)
Faktanya, kebutuhan pelengkap APD, contohnya masker, mencapai 162 juta buah per bulan. Padahal dilihat dari kemampuan produksi dalam negeri hanya 131 juta per bulan. Pelengkap lainnya, sarung tangan karet, dapat diproduksi dengan kapasitas nasional hingga 8,6 miliar buah. Realisasi produksi masih sebanyak 6,88 miliar. (beritasatu.com, Minggu, 29 Maret 2020)
Sudah jelas bahwa kapasitas produksi masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengapa penguasa masih berpikir untuk ekspor? Penguasa yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya, terutama dalam kondisi wabah seperti ini, seharusnya justru memutar otak dan mengerahkan segenap daya upaya untuk memenuhi minusnya kebutuhan APD. Bukan justru memunculkan wacana ingin mengekspor padahal di dalam negeri sendiri sangat kekurangan.
Penguasa, penguasa, tolong pikirkan rakyatmu yang berjibaku melawan wabah ini. Mudahkan, jangan justru dipersulit. Apakah perkara ekonomi jauh lebih penting daripada nasib ribuan rakyat yang terjangkit virus corona?
Wahai penguasa, jangan nyambi jadi pengusaha yang tolok ukurnya rugi laba. Apa-apa ujungnya rupiah. Devisa duluan, rakyat belakangan. Beginilah penguasa jebolan kapitalisme, segala sesuatu disandarkan pada materi semata.
Padahal Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyatnya. Islam memandang seorang penguasa atau pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Seperti yang disebutkan dalam satu hadis, “Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada Muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian Muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (HR. Abu dawud, Attirmidzy)
Jadilah penguasa, pemimpin yang amanah. Sebagaimana Khalifah Umar Bin Khaththab, yang di saat musim paceklik dan bencana dihadapi penduduk Arab, beliau memutuskan tidak akan makan sebelum seluruh rakyatnya makan. Agar ia merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.
Pemimpin yang baik akan berpijak pada keimanan saat bertindak. Karena ia sadar, kepemimpinannya akan diminta pertanggungjawaban. Dari hasil kebijakannya berharap dapat mendatangkan pahala daripada hanya sekedar devisa. Allah SWT berfirman, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah Ayat 36)
Pemimpin yang lebih mementingkan kondisi rakyat dari pada keuntungan dirinya. Pemimpin seperti itulah yang dirindukan rakyat. Pemimpin yang menerapkan hukum Allah. Sehingga seluruh perbuatannya hanya mendatangkan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat.
Wallahu’alam bishowab.
[Hw/Lm]