Kekerasan Kian Marak, Kota Medan Layak Anak?

Oleh: Ayu Ramadhani

(Aktivis The Great Muslimah Community)

 

LensaMediaNews – Dalam UU No. 35 Tahun 2014 pasal 15 dikatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam kegiatan yang mengandung unsur kekerasan; pelibatan dalam peperangan; dan kejahatan seksual. Sejalan dengan hal tersebut, dalam pasal 20 juga ditegaskan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua/wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Namun, amat sangat disayangkan, faktanya kekerasan terhadap anak masih belum padam, malah kian marak terjadi. Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia juga tak luput dari api tercela ini. Kota Medan bahkan menempati posisi tertinggi untuk kasus tindak kekerasan terhadap anak, dengan jumlah 101 kasus. Diikuti Kab. Deli Serdang 22 kasus dan Kab. Karo 18 kasus (sumutpos.co, 4/1/2020).

Menurut Ketua Badan Pengurus YPI Medan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak di Sumut dianggap sudah semakin memprihatinkan. Pencabulan menjadi kasus yang paling banyak terjadi pada 2019, dengan 107 anak menjadi korbannya. Lalu penganiayaan ada sebanyak 43 korban, dan pembunuhan dengan 21 korban. Sisanya 18 korban berbagai kasus, seperti sodomi, incest, penelantaran, dan pemerkosaan (mediasumutku.com, 2/1/2020).

Sudah tentu kasus yang mencuat kepermukaan ini, bukanlah jumlah real tindak kekerasan terhadap anak. Mengingat kasus yang non-terlapor juga marak di tengah masyarakat. Maraknya kasus kekerasaan terhadap anak seharusnya menimbulkan banyak tanya. Bagaimana kasus ini marak terjadi?, dan bagaimana solusi tuntas untuk menyelesaikannya?

Banyak faktor yang menjadikan kasus kekerasan ini semakin marak. Kekerasan terhadap anak ini dapat terjadi dalam ruang lingkup keluarga hingga masyarakat luas. Sudah seharusnya negara pasang badan dan banting tulang untuk menyelesaikan problem masyarakatnya. Idealnya, negara tidak hanya mengatasi masalah, namun mencabut akar masalah itu. Negara harus memiliki tindakan preventif dan kuratif untuk setiap masalah sekaligus pencegahannya. Bukan malah lepas tangan. Abai terhadap kasus ini berakibat kejadian ini terus berulang dan terus mencetak para predator anak. Kasus maraknya kekerasan terhadap anak ini membuktikan perlindungan terhadap anak masih diatas kertas.

Di negeri penerap sistem Kapitalis-Sekular, kasus kekerasan terhadap anak mustahil untuk tidak ditemui. Di dalam sistem yang tak mengenal aturan Illahi dan memisahkan antara urusan langit dan urusan bumi ini, tidaklah mungkin kekerasan dapat terhenti. Karena Negara dalam sistem ini hanya berfungsi sebagai regulator (pengatur) bukan pelayan bagi tuannya (rakyat). Bahkan negara dengan sistem yang tak mengakui hak Allah ini akan membalikkan posisi, dengan diri yang harusnya sebagai hamba yang menaati aturan Sang Pencipta, menafikkan syariat dan menjadi kreator aturan untuk alam dan manusia. Serta menempatkan rakyat yang sejatinya adalah tuan menjadi budak untuk meraup keuntungan.

Sistem Kapitalisme tidak mempunyai solusi tuntas untuk menumpas kasus kekerasan, justru hanya akan berkutat pada masalah permukaan yang nampak saja. Kasus kekerasan terhadap anak hanya akan menjadi arena bermain, dimana kasusnya hanya akan berulang tanpa penyelesaian. Padahal anak merupakan aset berharga, generasi pemimpin masa depan yang harusnya mendapatkan perhatian besar dari negara. Yang keselamatan dan keberlangsungan hidupnya merupakan tanggung jawab dan dijamin oleh negara.

Menjadikan kota Medan dan kota lainnya layak anak bukanlah tidak mungkin. Berbanding terbalik dengan keadaan hari ini. Khilafah yang pernah berjaya selama 13 abad merupakan wujud negeri ramah anak. Negera itu pernah ada dan terbukti berhasil dan mampu menjaga serta melindungi generasi dari kehancuran dan kekerasan dengan penerapan sistem Islam yang sempurna.

Dalam negara yang berlandaskan Alquran dan As-Sunnah itu pula lah anak-anak sebagai aset berharga dan generasi pewaris benar-benar hidup dengan layak. Khilafah terkenal akan keberhasilannya mencetak generasi emas yang gemilang. Ulama, cendikia, dan ilmuwan yang terkenal dengan keilmuannya yang masih kita pakai hingga hari ini, bukankah lahir dan bertumbuh pada masa Khilafah itu?

Penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan adalah solusi tunggal yang shahih. Satu-satunya sistem yang mengembalikan peran agama adalah sistem yang lahir dari akidah Islam. Aturan yang bersumber pada Kitabullah dan Sunnah Rasuullah, sebab aturan itu berasal dari Sang Pencipta, bukan dari lemahnya akal manusia, yang hanya berfikir manfaat dan eksistensi dirinya. Masihkah kita mencampakkan hukum-Nya padahal aturan-Nya jelas memuliakan manusia dan sesuai dengan fitrah.

Wallahu’alam bish showab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis