Menelusuri Muara Isu: Waspada Stunting

Keni Rahayu, S.Pd

(Ibu Muda & Penggerak Remaja)

 

LensaMediaNews— Dewasa ini, isu stunting kian ramai. Ditambah lagi gagasan “satu rumah satu ayam” pak Moeldoko sebagai solusi malgizi kronis anak, rasanya jelas tak solutif. Sebagaimana kita tahu bahwa akar masalahnya adalah ketidakmampuan ekonomi dalam memenuhi gizi keluarga. Ke mana muara isu stunting ini? Kenapa harus stunting yang ramai? Mengapa bukan gizi buruk? Toh, angka gizi buruk di Indonesia juga bukan negatif.

 

Stunting erat kaitannya dengan anak-anak, apalagi balita. Mengutip dari depkes.go.id (24/5/18), kehamilan remaja ditengarai sebagai salah satu penyebab bayi lahir stunting. Logikanya, jika remaja masih butuh banyak gizi untuk pertumbuhan, bagaimana mungkin memenuhi gizi anaknya. Bayi dalam janin, terlebih saat masa ibu menyusui sampai 1000 hari kelahiran nanti (2 tahun) sangat membutuhkan gizi yang melimpah.

 

Menemukan muara isu stunting bisa kita kaitkan dengan kebijakan pemerintah yang lain. Mulai 2020 berlaku sertifikasi layak kawin, salah satunya adalah di bidang kesehatan. Stunting termasuk menjadi materi yang dibahas dalam kursus pranikah para calon pengantin. Jika tidak lulus, calon pengantin harus berbesar hati menunda pernikahannya sampai lulus sertifikasi.

 

Selain itu, DPR RI telah mengesahkan hasil revisi terbatas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada 16 September lalu. Awalnya batas minimal usia pernikahan perempuan adalah 16 tahun, sekarang menjadi 19 tahun, sama dengan laki-laki. (Suara.com 16/9/19).

 

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh menekan pernikahan usia dini. Tak sekedar himbauan, isu stunting menjadi peluru untuk menembakkan kebijakan menekan pernikahan dini yang kemudian disambut dengan kebijakan sertifikasi pranikah. Faktanya, upaya ini didukung pula oleh UU batasan usia menikah bagi remaja.

 

Semua ini sejalan dengan SDGs milik PBB, di mana salah satu tujuannya adalah kesetaraan gender. Apa itu SDGs? SDGs adalah Suistanable Development Goals atau Pembangunan Berkelanjutan. Sederhananya, ini adalah program PBB dalam rentang waktu 2015-2030 yang disepakati untuk dipenuhi oleh semua negara tanpa terkecuali.

 

Gambarannya begini, “Remaja perempuan setelah lulus sekolah jangan terburu-buru menikah, kuliah atau kerja saja dulu. Karena menikah banyak akibatnya. Karir terhambat, sekolah tersendat, anak stunting tak sehat. Jangan mau kalah sama laki-laki. Ayo berkarir. Dapur, sumur, dan kasur sudah jadi narasi basi bagi perempuan.”

 

Meski program lain tertulis: ‘Tanpa Kemiskinan’, ‘Tanpa Kelaparan, dan Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan’, kebijakan pemerintah Indonesia tidak menggambarkan sedikitpun ke arah sana. Buktinya, rakyat disuruh menanam beras sendiri, biar tidak kelaparan. Rakyat disuruh memelihara ayam, biar tidak stunting.

 

Sebaliknya, kebijakan yang lahir sangat kentara sekali ide gender ala feminis. Yang menganggap perempuan harus diberdayakan. Perempuan juga harus “dilindungi” dari pernikahan. Seolah, menikah dapat mematikan keberdayaan seorang perempuan. Naudzubillahi min dzalik. Indonesia memang negara pembebek. Sedemikian banyak kebijakannya, dibuat sesuai aturan main konstelasi politik dunia. PBB bilang A, harus jalan A.

 

Sangat berbeda dengan negara yang menerapkan syariah Islam paripurna. Ia berdiri tegak, tak bersandar pada negara mana pun. Ialah khilafah. Independen dalam semua kebijakannya. Kuratif bahkan prefentif dalam menyelesaikan berbagai masalah manusia. Tidakkah kita rindu? Wallahu a’lam bishowab. [LN/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis