Menanti Perjuangan Santri Masa Kini
Oleh: Arwiyanti
LenSaMediaNews– Santri dan pesantren sangat berperan aktif dan penting dalam pengusiran penjajahan di negeri ini. Bahkan untuk mengapresiasi hal itu, Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama. (Wikipedia.com)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri adalah orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Sedangkan KH. Hasan Nawawi mendeskripsikan santri sebagai orang yang berpegang teguh pada Allah Swt dan mengikuti Rasulullah Saw. Dari beberapa definisi, semuanya memiliki garis besar yang sama, santri adalah seseorang yang sudah berkomitmen untuk mengimplementasikan dan menginternalisasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Maka, santri hakiki seharusnya kalangan yang akan berdiri paling depan dalam memberantas kebatilan demi menjalankan perintah Allah, senantiasa menjaga adab, selalu dzikrullah, tingkahnya menentramkan dan juga akan selalu menjaga diri dari keharaman dan kesia-sian.
Jadi tak mengherankan jika ada bahaya yang mengancam negeri ataupun mengancam agama maka, santri dan ulama akan selalu ada di garda terdepan membelanya. Peran mereka bukan hanya ada saat resolusi jihad. Namun telah terukir dalam banyak kisah sejak beberapa abad sebelumnya.
Dalam buku yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia karya Azyumardi Azra, diungkapkan adanya sejumlah tokoh ulama dan santri dalam melawan penjajah.
Seperti, Syekh Yusuf Al-Makasari pada tahun 1627-1699. Perang Diponegoro tahun 1825 – 1830. Laskar Hizbullah didikan KH. Zaenul Arifin yang ikut menyukseskan peperangan di Ambarawa yang dipimpin oleh Jend. Sudirman.
Juga pada tahun 1945, jelang proklamasi, para ulama dan tokoh Islam yang telah berjihad mengusir penjajahan Belanda ikut merumuskan konstitusi dan bentuk negara melalui rapat BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Di sana jelas terlihat sarat akan kekuatan Islamnya. Mulai dari pemilihan kata-kata dipembukaannya, “atas berkat rahmat Allah”, dan juga “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun ironisnya, di detik-detik pengesahannya, 7 kata terakhir dihapus. Tentu hal itu menimbulkan rasa pahit dan kepedihan di kalangan ulama. Karena perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan dengan penuh peluh, air mata, darah bahkan jiwa untuk menjadikan Indonesia berdaulat di tangan Islam tidak tercapai.
Indonesia yang saat ini telah terbebas dari penjajahan fisik. Ditambah lagi, negeri ini juga dilimpahi sumber daya alam yang luar biasa oleh Allah SWT. Namun, ternyata belum mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Semua itu terjadi karena kekayaan alamnya diprivatisasi oleh swasta maupun asing dan aseng yang didukung dengan adanya kebijaksanaan yang ditetapkan oleh negara.
Freeport yang leluasa mengeruk ribuan ton emas dan uraniumnya, kasus reklamasi teluk Jakarta, kasus Meikarta dan masih banyak kasus lainnya, sepertinya semakin menegaskan bahwa kedaulatan negeri ini masih disanksikan.
Di sisi lain, meskipun Indonesia adalah negara mayoritas muslim. Namun faktanya, dalam hal sosial budaya banyak sekali permasalahan. Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar narkoba, seks bebas yang sudah dianggap biasa, kasus aborsi yang tinggi, HIV yang terus meningkat, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perselingkuhan dan juga banyaknya kasus perceraian.
Maka dari itu, walaupun kita telah terbebas dari penjajahan fisik, ternyata masih ada penjajahan yang jauh lebih menakutkan, yaitu penjajahan pemikiran. Penjajahan pemikiran telah menjauhkan umat Islam dari syariatnya. Ditambah dengan berlakunya sistem kapitalisme di negeri kita ini. Sistem kapitalisme memandang agama hanya sebatas ibadah semata. Dalam pengaturan kehidupan, kapitalisme mencampakkan hukum Islam. Dan dengan kapitalisme membebaskan sumber daya alam untuk dimiliki secara individu.
Dulu, ulama mengeluarkan fatwa jihad untuk mengusir penjajahan fisik di negeri ini. Saat ini pun harus sama, ulama dan santri harus bersatu untuk mengusir penjajahan pemikiran. Hingga diharapkan santri masa kini mampu melanjutkan cita-cita ulama terdahulu yakni menerapkan Islam dalam setiap sendi kehidupan dan terwujudlah negara yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur. Allah Swt berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Maka jadikanlah Hari Santri sebagai titik balik untuk mengukir prestasi. Hingga santri mampu menjadi aktor utama dalam perubahan mendasar. Perubahan dari kehidupan yang kapitalis sekuler menjadi kehidupan yang Islami. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh santri yang hakiki.
Wallahua’lam[]
[Lm/Hw/Fa]