Nasib Guru Honorer di Sistem Sekuler

Eni Mu’ta (Pendidik)

 

LenSaMediaNews– Carut marut soal nasib guru honorer sudah terjadi sejak lama. Status kepegawaian yang bukan Pegawai Negari Sipil (PNS) menjadikannya mendapat perlakuan yang berbeda, meski dengan beban tugas yang sama. Padahal, apapun statusnya guru memiliki jasa besar dalam mencerdaskan anak bangsa.

Per Juni 2018, tercatat jumlah guru secara nasional ada sekitar 3.017 juta orang. Jumlah tersebut setengahnya meliputi guru dengan status PNS dan setengahnya lagi dengan status honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta (Detik.com). Dan sebagaimana diketahui, guru dengan status PNS kondisinya lebih sejahtera dibandingkan dengan para guru berstatus honorer.

Sebagaimana yang terjadi pada guru honorer di Tulungagung. Tunjangan transportasi yang diberikan pada guru honorer sebesar Rp250.000 perbulan. Dengan alasan ketersediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang ada sekarang, disinyalir tak ada perubahan di tahun depan (Mayangkaranews.com). Miris, kondisi ini tentu tak hanya terjadi di Tulungagung.

Berdasarkan laporan Education Efficiency Index, Indonesia termasuk negara yang paling kurang mengapresiasi guru. Dari 30 negara yang masuk dalam survey tersebut, gaji guru di Indonesia berada di urutan paling buncit dengan gaji USD 2.830 atau Rp39 juta per tahun, dengan rata-rata gaji guru honorernya Rp400-500 ribu/bulan. Maka tak heran jika banyak guru honorer yang kerja sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup. Pun mereka pernah menggeruduk istana negara demi memperjuangkan haknya. Hak untuk mendapatkan kesejahteraan hidup atas jasa besar pengabdiannya.

Tugas guru, mengajar dan mendidik adalah tugas mulia. Maka selayaknya mereka diposisikan mulia. Diperhatikan kesejahteraan hidupnya. Agar bisa fokus dalam mencetak generasi cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan zaman. Namun, apa yang terjadi gaji minim dan kerap ditunggak, jarak tempuh yang jauh, fasilitas seadanya, beban kerja menumpuk adalah fakta dalam dunia pendidikan yang ada saat ini. Pendidikan yang di gembar-gemborkan untuk menghadapi era 4.0 yang berorientasi ekonomi. Seakan gak mau rugi, mutu pendidikan di tuntut tinggi tapi minim pembiayaan, termasuk anggaran untuk memberikan gaji yang layak bagi para guru.

Kehidupan dalam sistem sekular ini sama sekali tak menghargai jasa guru, khususnya guru honorer. Dengan dalih karena mereka bukan guru yang diangkat oleh pemerintah, maka urusan gajinya diserahkan pada pihak sekolah atau pemerintah daerah. Pernyataan demikian pernah disampaikan oleh Menteri Pendidikan yang lalu Muhajir Effendy, “Gaji kecil karena tergantung kemampuan dari sekolah itu sendiri,” (detikFinance.com, 3/5/2018). Guru honorer diangkat karena sangat dibutuhkan. Sementara jumlah PNS guru tak mencukupi untuk memenuhi pelayanan pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.

Lantas apa solusi yang diberikan? Muhajir menghimbau pada setiap Pemda untuk berani dan menganggarkan APBD-nya untuk guru honorer. Sedangkan Pemda sendiri masih banyak yang kesulitan menanggung pendanaan daerahnya. Adapun solusi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) alias guru kontrak belum mensolusi akar persoalan. Mirisnya, para guru honorer diminta bersabar dengan gaji yang sedikit, nikmati saja nanti masuk surga kata Muhajir dalam pidatonya dalam peringatan Hari Guru Sedunia 2019. Tidak salah, tapi kurang tepat saja disampaikan dalam kondisi kesejahteraan guru masih terus diperjuangkan. Hal ini sangat berbeda ketika dengan mudahnya pemerintah menaikkan gaji angggota dewan.

Negara belum sungguh-sungguh menganggap bahwa pendidikan adalah investasi masa depan generasi, menjadi pilar peradaban yang seharusnya mendapat prioritas utama untuk diurusi. Maka wajar jika karut marut dunia pendidikan, termasuk solusi soal nasib guru honorer masih rendah. Kalah dengan urusan pembangunan infrastuktur negara.

Guru dengan kesejahteraan tinggi, mendapat gaji Rp31.875.000 perbulan, saat ini hanyalah mimpi. Namun hal ini pernah terjadi, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abi Syaibah dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al Wadl-iah bin Atha, bahwasanya di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas). Bila saat ini 1 gram emas Rp500 ribu, maka gajinya saat itu Rp31.875.000. Tentu ini tanpa memandang status guru PNS atau pun honorer. Hal ini terjadi karena negara sangat serius menangani masalah pendidikan. Negara yang menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan.

Islam menempatkan ilmu, orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu dalam posisi yang mulia. Menuntunya dihukumi wajib. Maka pelayanannya pun benar-benar diperhatikan. Urusan ilmu, pendidikan menjadi prioritas negara. Maka negara dengan visi Islam akan mewujudkan pendidikan terbaik baik rakyat dan semua yang terlibat didalamnya, termasuk kesejahteraan para gurunya.

Sungguh tampak perbedaan bagaimana nasib guru dalam sistem sekuler dan sistem Islam. Jika sistem sekuler saat ini tak mampu mensolusi masalah kesejahteraan guru, utamanya guru honorer tidakkah mau mengambil solusi bagaimana Islam mensejahterakan mereka? Yakni dengan menerapkan aturan Islam dalam segala aspek kehidupan dan dijadikan sebagai visi negara.

Allahua’lam bi shawab.

 

[Lm/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis