Benarkah Demokrasi Anti Kritik?

Oleh : Suharmi, S.Hut
(Pengajar MTsS Assalam Martapura)

 

LenSaMediaNews– Ada “keanehan” yang terjadi di negeri ini. Negeri yang mengagungkan demokrasi justru melakukan hal yang sebaliknya dari ide demokrasi itu sendiri. Hal yang menonjol dari demokrasi adalah “kebebasan berpendapat”nya. Ternyata hanya jargon yang tak berwujud. Padahal presiden Jokowi di Istana Merdeka pernah menyatakan “Jangan sampai Bapak Ibu sekalian meragukan komitmen saya mengenai ini (menjaga demokrasi)” (cnnindonesia.com, 26/9/2019).

Peristiwa kasus pencopotan jabatan anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) karena postingan sang istri di media sosial. Kemudian seorang PNS (pegawai negeri sipil) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Balikpapan Kalimantan Timur dicopot jabatannya hanya karena menggugah konten yang dituding anti-Pancasila. Sebelumnya di Semarang seorang guru besar Hukum Universitas Diponegoro yang telah mengajar tentang Pancasila selama seperempat abad dicopot jabatannya karena dituding anti-Pancasila. Tak hanya para PNS yang kena imbasnya, seorang mahasiswa kritis dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Kendari juga dipecat rektornya karena dituding anti-Pancasila. Dari semua itu, apakah nampak adanya kebebasan berpendapat ?

Demokrasi menjamin adanya kebebasan berpendapat. Demokrasi itu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Kritik adalah bagian dari mekanisme kontrol dari sistem demokrasi. Sehingga keterlibatan rakyat dalam pemerintahan diwujudkan dalam bentuk aktivitas mengkoreksi penguasa sangatlah besar. Apalagi kritik terhadap pemerintah adalah kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28e (3) dan diatur dengan UU No.9 tahun 1998.

Tetapi realitanya itu tidak pernah terwujud. Kebebasan berpendapat yang sejatinya dilindungi UUD hanya sekedar jargon yang tak terwujud. Karena dalam demokrasi, kekuasaan adalah alat bagi kepentingan individu atau kelompok. Pendapat rakyat, meski mayoritas bila tidak sejalan dengan kepentingan mereka akan ditolak. Maka pada sistem ini akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang akan mengalahkan kepentingan mayoritas. Di negeri ini yang mayoritas penduduknya muslim, justru dibungkam kebebasan dalam menyampaikan ajaran Islam. Karena dianggap bertentangan dengan kepentingan mereka.

Jadi wajar kebebasan berpendapat adalah omong kosong belaka. Penguasa yang anti kritik juga menunjukkan bahwa mereka sedang berusaha menutupi dan menyelamatkan kebobrokan sistem demokrasi ini agar kepentingan mereka tetap terjaga.

Padahal kritik adalah bagian alamiah yang ada dalam suatu interaksi manusia. Termasuk interaksi dalam hidup bernegara. Dimana pemerintah sebagai pihak yang mengurus dan mengayomi rakyatnya. Ketika rakyat melihat ada yang tak sesuai, atau ada kebijakan pemerintah yang dianggap zalim. Maka rakyat berperan untuk melakukan koreksi atau mengkritik. Bukankah dengan mekanisme seperti ini akan memperkuat kerja sama antara rakyat dan penguasa ? Tetapi ketika penguasa menutup ruang kritik karena dianggap tidak sejalan dengan mereka, maka terbentuklah jurang pemisah yang lebar antara rakyat dengan penguasa. Lantas bagaimana akan terwujud soliditas kerjasama rakyat dan penguasa dalam membangun negeri ini ?

Itulah wajah sistem demokrasi yang memang “cacat dari lahir”. Ide buatan manusia yang penuh kelemahan dan tidak sempurna. Sehingga tidak mungkin bisa diterapkan ditengah kehidupan manusia. Meski pun dipaksa untuk diterapkan, yang muncul adalah kezaliman penguasa atas rakyatnya.

Bagaimana dengan Islam? Tidak ada larangan kritik asalkan berstandar akidah dan hukum syara’. Rasulullah yang mulia pun pernah dikritik soal pemilihan posisi perang Badar oleh Shahabat Al Hubab Ibn Al Mundzir ra. Nabi pernah dikritik oleh Umar bin Al Khaththab ra. soal bagaimana memperlakukan tahanan perang Badar. Nabi pernah juga dikritik Umar soal perjanjian Hudaibiyah yang dianggap tidak adil. Apakah itu dianggap memberontak ? Tentu tidak. Aneh jika ada orang yang tidak boleh dikritik dengan menggunakan dalil-dalil syara’ sementara Nabiyullah yang ma’shum (dijaga dari kesalahan dan dibimbing wahyu) saja menerima kritik (untuk hal-hal duniawi). Apalagi orang biasa yang tidak ma’shum dan bahkan berhukum dengan hukum buatan manusia.

Khalifah Abu Bakar bahkan minta dikritik ketika menjadi pemimpin pertama setelah Rasulullah wafat. Hal ini terlihat pada pidato beliau yang mashur ketika menerima bai’at. Bahkan sebelum menasehati rakyatnya, beliau terlebih dulu meminta nasehat dari rakyatnya. Kebiasaan melakukan muhasabah ini terus dilakukan meski silih berganti pemimpinnya.

Demikianlah, kebiasaan melakukan muhasabah (kritik) kepada penguasa ini terus dilakukan pada masa Islam diterapkan. Muhasabah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab rakyat untuk menjaga keberlangsungan diterapkannya hukum-hukum Allah. Di satu sisi penguasa sadar betul akan pentingnya muhasabah yang dilakukan oleh rakyatnya.

 

[EL/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis