Pemimpin Hari Ini, Produk Buzzer atau Islam?

Oleh: Ria Mufira Hamzah

 

LensaMediaNews – Universitas Oxford menerbitkan hasil penelitian berjudul ‘The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’ yang digarap oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber alias buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019 (cnnindonesia.com,6/10/19).

Bahkan banyak temuan fakta di lapangan yang menunjukkan bagaimana kerja-kerja para buzzer politik dalam menciptakan opini dan propagada di berbagai akun medsos. Jika diperhatikan, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia melalui para buzzernya terdiri dari dua jenis. Pertama, informasi yang menyesatkan media atau publik . Dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar.

Dan para buzzer di Indonesia, masih menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp 1 juta sampai Rp 50 juta. Mereka bekerja terutama di 3 layanan medsos populer, yaitu twitter, instagram, dan facebook.

Tidak terkecuali dalam proses pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi. Menggunakan buzzer untuk membangun elektabilitas calon pemimpin sudah lazim digunakan. Tidak lagi penting tentang kebenaran informasinya. Apapun akan disebar asal mampu mengangkat junjungan mereka setinggi langit. Mereka memainkan opini untuk mempengaruhi kecenderungan pemilih.

Aksi para buzzer tersebut sangat berpengaruh terhadap para pengguna medsos. Bagi mereka yang tidak mampu memfilter informasi, maka akan termakan dengan berbagai isu yg kebanyakan mengandung kebohongan hasil produksi para buzzer. Mereka akan terkesima dengan profil yang hanya hasil rekayasa. Dan juga terperdaya dengan berbagai janji-janj manis calon pemimpin. Akhirnya, banyak yang menelan mentah-mentah berbagai infomasi sebaran para buzzer tersebut. Maka hadirlah sosok-sosok pemimpin yang diproduksi oleh kebohongan buzzer.

Agama Islam (agama mayoritas di Indonesia), begitu keras melarang perbuatan bohong. Bahkan bohong dikatakan sebagai pengantar pelakunya menuju neraka. Jangankan berbohong untuk urusan serius, bahkan berbohong untuk membuat orang lain tertawapun dilarang keras. “Celakalah orang yang berbicara, padahal ia berbohong untuk sekedar membuat orang-orang tertawa.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Muslim yang taat, sebagai apapun dia, tidak akan pernah mau, apalagi sampai suka rela untuk melakukan kebohongan-kebohongan. Sebab, cepat atau lambat kebohongan pasti menjerumuskan pelakunya pada kesengsaraan besar, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat. “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS. An-Nahl [16]: 105)

Merujuk tafsir ayat tersebut, kebohongan hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada ayat Allah. Dan orang yang demikian tidak akan pernah mendapat petunjuk dari Allah.

Tapi saksikanlah di negeri ini, kebohongan nyaris dijadikan tontonan setiap hari oleh para elit politik termasuk para calon pemimpin. Dimana satu kebohongan akan diikuti dengan kebohongan-kebohongan lainnya. Ibaratnya urat malu mereka sudah putus. Dan bahagia hidup dalam kubangan dusta.

Padahal Islam telah memberikan petunjuk tentang cara memilih pemimpin. Pemimpin dalam Islam dipilih karena memenuhi syarat-syarat iniqad. Pertama, haruslah seorang Muslim. “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin” (QS An-Nisa [4]: 141). Kedua, harus laki-laki. “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.” (HR Bukhari)

Ketiga dan keempat, yaitu berakal dan baligh. “Telah diangkat pena (beban hukum) dari 3 golongan: dari orang gila hingga dia sembuh, dari orang tidur hingga dia bangun, dan dari anak-anak hingga dia baligh.” (HR. Abu Dawud). Kelima, seorang yang adil. “…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian...” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2). Keenam, merdeka karena seorang hamba sahaya adalah milik tuannya sehingga dia tidak memiliki kewenangan mengatur urusannya sendiri, apalagi urusan manusia. Dan ketujuh, mampu menjalankan amanah kepemimpinan.

Oleh karena itu, marilah kita cerdas dalam memilih para pemimpin. Jangan sekadar melihat kemasan yang menggoda. Karena mudah saja memolesnya dengan beragam kebohongan. Tapi pilihlah pemimpin Islam yang menjadikan Islam sebagai tuntunannya.

Wallahu a’ lam biashowab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis