Tak Ada Ruang Kritik dalam Demokrasi

Oleh: Ita Mumtaz

 

LensaMediaNews – Katanya demokrasi adalah primadona rakyat. Sistem yang membuka pintu kebebasan aspirasi dan berpendapat. Terdengar begitu hebat, tapi nyatanya menghasilkan pemimpin yang nuraninya sekarat.

Rakyat, termasuk istri Dandim yang bersikap kritis terkait “tragedi penusukan” pejabat negara, seharusnya memiliki kebebasan untuk menyuarakan opininya.

Kekecewaan terhadap sikap pejabat dan penguasa yang tidak memihak kepentingan rakyat merupakan bagian dari kepekaan jiwa akan penderitaan umat yang dizalimi.

Wajar jika beliau menyampaikan ke publik melalui akun media sosial sebagai tanda kepedulian dan jalan untuk memberi masukan dan kritikan kepada penguasa.

Seharusnya penguasa menerimanya bersama kebesaran jiwa lalu melakukan introspeksi diri. Sebagai pemimpin yang seharusnya mencintai rakyat, alangkah baiknya jika beliau-beliau mendengarkan kegundahannya.

Begitupun, sudah selayaknya melihat kembali kebijakan yang selama ini diterapkan. Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, atau justru menambah beban dan kesengsaraan.

Karena penguasa adalah pelayan rakyat. Sebagaimana yang disampaikan dalam hadits Rasulullah Saw.

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Namun apa balasan penguasa terhadap seorang warga negara yang memiliki kepedulian besar terhadap umat?

Dengan semena-mena memecat sang suami dari posisi sebagai abdi negara. Sungguh merupakan kebijakan yang serampangan. Apakah karena merasa berkuasa, lantas berlaku sewenang-wenang.

Begitulah sistem demokrasi. Jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya palsu. Hanya ilusi tanpa implementasi. Dalam demokrasi, penguasa melakukan makar terhadap rakyat sudah biasa terjadi.

Bagaikan tangan besi. Tanpa mengajak diskusi, langsung main persekusi. Tidak mau beradu argumentasi, bahkan dengan sigap melempar rakyat ke balik jeruji, terbit SK pemecatan tanpa basa-basi, atau turun SK pembubaran organisasi masyarakat dengan dalih kegentingan yang memaksakan diri.

Dalam sistem Islam, rakyat memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mengingatkan pemimpin. Pemberian masukan dan kritik kepada penguasa adalah konsekuensi dari keimanan. Bukan dengan tujuan menjatuhkan, namun semata-mata demi menyampaikan kebenaran.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya. “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Pun sang pemimpin, justru sangat mengharapkan masukan dari rakyat. Karena rasa takutnya kepada Allah. Andai mereka menyalahi amanah, terbayang di depan mata akan besarnya dosa yang dipikulnya.

Sebagaimana Umar bin Khattab pernah menyampaikan kepada sahabatnya.

Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukannya, karena segan dan rasa hormatnya padaku.”

Sesungguhnya masukan yang disampaikan rakyat tiada lain adalah tanda kecintaannya kepada pemimpin. Pemimpin sejati pasti mencintai dan dicintai rakyat.

Bukan yang selalu dilempar umpatan oleh rakyat akibat kekecewaan yang teramat dalam. Shalawat asyghil pun selalu terlantun dari lisan umat, bergemuruh dalam dada-dada mereka. Rakyat sudah putus harapan terhadap keadilan pemimpinnya. Mereka sudah muak dengan segala pencitraan. Sehingga sangat berharap semoga Allah membuat penguasa saling ribut dengan orang-orang zalim yang menjadi sekutunya.

Muhasabah kepada penguasa adalah senantiasa mengontrol dan  mengoreksi tugas-tugas dan kebijakan-kebijakannya. Hal ini dilakukan untuk mengubah perilaku penguasa jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain yang Allah turunkan.

Dalam demokrasi, nampaknya hal ini sulit untuk direalisasikan. Karena pemerintah tak lagi mengabdi kepada rakyat. Asas manfaat telah menjadi pijakan dalam berbuat. Halal haram bukan lagi soalan yang prinsip.

Wajar jika si pemimpin selalu mengedepankan kepentingan sekelompok orang atau partai. Siapa yang bisa melindungi kepentingan dan kekuasaannya, dialah yang akan mendapatkan restunya.

Berbeda dengan Islam, dimana akidah Islam menjadi asas dalam beramal. Aturan Islam sebagai solusi untuk mengatasi berbagai problem kehidupan. Maka menerapkan Islam dan meninggalkan aturan selainnya adalah kewajiban sekaligus kebutuhan.
Sebagaimana ditekankan oleh Allah SWT dalam surat An-nisa 65 yang artinya:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis