Antara Kebo dan Kebohongan

Oleh: Siti Aminah*

 

 

LensaMediaNews— Kebo nusu gudel  juga kebo kabotan sungu adalah dua peribahasa jawa yang menggunakan kata kebo. Kebo nusu gudel, bermakna bahwasanya dalam belajar atau mencari ilmu seseorang yang lebih tua pun harus mau belajar atau berguru kepada orang yang lebih muda bahkan anak kecil sekalipun kalau memang orang yang lebih muda atau anak kecil tadi yang mempunyai ilmu. (Brainly.co.id)

 

Sementara kebo kabotan sungu (kerbau yang keberatan tanduk) – sesuatu jabatan atau hak yang berada di atas derajat seseorang. Dengan kata lain, seorang tersebut “tidak kuat derajat”, atau lupa daratan. (Id.m.wikiquote.org)

 

Kembali lagi ke kebo atau kerbau. Kalau kebo itu yang dipegang adalah tali hidungnya. Manut dan sendiko dawuh tuannya. Karena dia kebo, jadi bisanya ya kerja, kerja dan kerja. Jangan menunggu dia berfikir. Yang memikirkan siapa? Ya tuannya. Mau disembelihpun si kebo tetap menuruti. Meskipun sekarang kebo tidak lagi sebanyak yang dulu, tapi jangan khawatir karena masih banyak kebo-kebo lain yang menggantikan, yaitu kebo-hongan, kebo-dohan, kebo-brokan, kebo-sanan dsb.

 

Kebo-hongan

Melihat peristiwa menjelang pemilu dan sampai sekarang, seakan kita banyak disuguhi “daging” kebo-hongan itu. Di mana “daging” itu di “olah”? Siapa kokinya? Siapa yang merasakannya?

 

Kebo-hongan yang dibuat itu perlu publikasi media, perlu viral dan cetar di media sosial dan TV. Mengapa? Agar masyarakat mengetahui kalau itu suatu kebenaran, karena hampir semua media meliputnya. Sekali lagi kalau kebo itu dipegang tali hidungnya, sementara manusia itu yang dipegang adalah janji dan ucapannya. Ajining diri dumuning ing lathi. Harga diri itu tergantung pada mulut, apa yang diucapkan.

 

Kebohongan akan beranak

Ternyata yang beranak pinak bukan hanya kebo, tapi juga kebo-hongan. Jika kebo itu melahirkan anaknya dalam hitungan bulan, hanya bisa menghasilkan 1-2 anak saja. Tapi jika kebo-hongan, ia beranak pinak bisa dalam hitungan menit bahkan dalam jumlah yang banyak. Ya, kebo-hongan akan bisa beranak pinak. Siapa anaknya? Karena bapak dan ibunya adalah kebo-hongan, maka anaknya juga bernama kebohongan, dari kebohongan lahirlah kebodohan, kebobrokan, kebosanan, keburukan, kericuhan, kerusuhan dsb.

 

Kebo-hongan dipelihara

Bagaimana bisa kebo-hongan terus merajalela? Karena dia dipelihara. Siapa pemeliharanya? Yakni sebuah sistem bernama kapitalis. Kebo-hongan dalam kapitalis akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus berbohong. Dengan adanya sistem kapitalis ini maka kebo-hongan akan terstruktur, adanya berbagai kecurangan yang banyak kita jumpai terutama pada pemilu lalu. Dan sangat memungkinkan pelakunya adalah para pemimpin atau pelayan rakyat.

 

Masyarakat kemudian dicekoki dengan berbagai kebo-hongan dan kecurangan, sekaligus menelannya mentah-mentah. Sehingga tidak sedikit yang mengalami kebo-dohan. Karena jika masyarakat kritis terhadap pemerintah akan ditindak tegas. Dan hal ini tidak bisa dibiarkan.

 

Kebo-hongan dalam Islam

Dalam Islam, kebo-hongan (alkadzib) secara umum adalah haram. Berbohong termasuk membuat berita bohong dan menyebarkan hukumnya haram. Bohong merupakan ciri munafik. Yang dibenci Allah dan RasulNya. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat.” (HR. Al- Bukhari)

 

Dalam Islam, berbohong hanya boleh dilakukan dalam tiga keadaan. Rasul Saw bersabda, “Semua kebohongan ditulis (sebagai dosa) atas anak adam kecuali tiga macam: seseorang yang berbohong kepada istrinya untuk menyenangkan dia, seseorang berbohong secara tipu daya dalam perang, atau seseorang berbohong kepada dua orang muslim untuk mendamaikan keduanya”.

 

Cara Islam membungkam kebo-hongan

Bagaimana menurunkan populasi kebohongan atau bahkan membunuhnya agar tidak semakin merajalela? Yaitu dengan kejujuran. Dan Islam dengan sistemnya juga akan mampu untuk membungkam kebohongan dengan dorongan iman juga sanksi dari negara. Sekaligus juga mendorong masyarakat untuk menumbuhkan sifat jujur.

 

Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang perempuan pada zamannya Rasullullah yang mengakui kesalahannya karena telah berzina, sementara ia telah menikah. Ia hamil. Ia bisa saja menyembunyikannya. Tapi Ia ingin hukum Islam ditegakkan atasnya agar Allah mengampuni. Ia tahu sanksi berzina sedang ia telah menikah, yakni dengan rajam. Ia melakukan kejujuran itu. Meskipun tidak ada orang yang mengadukannya.

 

Seperti inilah yang masyarakat harapkan. Kejujuran. Dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan menjadikan Islam sebagai landasan. Keimanan yang kokoh akan mengikat seseorang dengan kejujuran. Untuk mendapatkan kejujuran yang terstruktur diperlukan perangkat yang terstruktur pula. Maka, kita butuh institusi penjaga kejujuran. Dan institusi itu hanya bisa kita peroleh pada institusi yang menerapkan Islam. Wallahua’lam bishowab. [Lm/Hw/WuD]

*Aktivitas Muslimah Jawa Timur

Please follow and like us:

Tentang Penulis