Ketika Para Koruptor Menjadi Sahabat

Oleh: Kqsna Mercy Cahyani W. 

(Bachelor Student of Marine Transport Engineering)

 

LensaMediaNews – Selama hampir sepekan, para mahasiswa dan warga negara mengiringi pemakaman KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang telah tiada. Sejak diketoknya palu pengesahan Revisi Undang-Undang KPK oleh Presiden dan DPR pada tanggal 17 September 2019, saat itu pula nama Komisi Pemberantasan Korupsi berubah menjadi Kiamat Pemberantasan Korupsi. Banyak pasal RUU KPK yang dinilai cacat, bahkan sejak dibuatnya revisi saja mengalami kecacatan karena pemerintah membuat revisi undang-undang ini tanpa sepengetahuan pihak KPK (News.detik.com, 17/09/2019).

Mengapa presiden dan DPR tergesa-gesa mengesahkan RUU KPK di detik-detik terakhir masa kerja DPR? Berdasarkan data ICW, sebanyak 23 anggota DPR periode 2014-2019 menghiasai jajaran skandal korupsi di Indonesia. Bahkan ketua DPR RI sendiri, Setyo Novanto bersama wakilnya, Taufik Kurniawan tak luput dari skandal tipikor.

Terlepas dari Revisi UU KPK, sebenarnya yang harus menjadi sorotan utama umat hari ini adalah mengapa lahir lembaga bernama KPK? Mengapa banyak kasus korupsi di Indonesia? Bahkan seorang Menag yang seharusnya adalah orang agamis pun telibat skandal haram suap-menyuap ini. Satu jawaban yang pasti adalah karena diterapkannya sistem demokrasi kapitalis. Lahirnya lembaga bernama KPK saja merupakan pengkonfirmasian kegagalan sistem demokrasi memberantas korupsi itu sendiri. Juga tak dapat dipungkiri dalam sistem ini koruptor banyak lahir dari kalangan pejabat secara massal dan berulang. Tidak menjamin orang agamis bahkan sesuci malaikat pun akan lolos dari jerat korupsi dalam demokrasi. Karena demokrasi adalah sistem yang tegak atas asas pemisahan peran agama dalam kehidupan (sekularisme).

Dana politik dalam demokrasi yang sangat besar jika dibandingkan dengan gaji dan tunjangan yang diterima setelah menjabat membuat politik demokrasi sejatinya adalah politik transaksional. Sehingga, tanpa pikir panjang apakah itu halal atau haram menurut syariat, merugikan rakyat atau tidak, cara tercepat, efisien, dan efektif untuk “balik modal” kampanye hanyalah dengan jalan korupsi tingkat tinggi. Di samping mahalnya dana politik, hukum yang menjerat para koruptor pun tidak tegas. Adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku tipikor, fasilitas mewah dalam penjara, bahkan memanjakannya dengan membuat rancangan UU Pemasyarakatan bahwa narapidana korupsi diizinkan berjalan-jalan ke mall sebagai ajang refreshing. Sehingga tidak bisa kita menafikkan korupsi dan kecurangan lainnya adalah buah dari demokrasi.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem Islam yang dibangun di atas dasar akidah keimanan. Dalam sistem Islam, jelas halal haram menurut syariat adalah standar atas segala aktivitas. Baik dalam konteks individu, keluarga, masyrakat, bahkan negara. Sehingga tidaklah mungkin bisa Islam dipisahkan dari setiap aspek kehidupan. Akidah yang benar akan menuntun perbuatan manusia sesuai dengan keinginan Sang Pemilik Hidup, Allah. Ketaatan pada aturan Allah adalah bukti keimanan, amar ma’ruf nahi munkar menjadi budaya sosial masyarakat Islam, dan sistem politik Islam memandang bahwa negara adalah pengurus urusan umat serta penjaga mereka dari segala kerusakan dan kedzaliman.

Ditambah lagi sistem sanksi Islam yang begitu tegas memiliki 2 fungsi yaitu menimbulkan efek jera sehingga akan mencegah pelanggaran serupa terjadi lagi (jawazir), juga sebagai penebus dosa (jawabir) di hari penghisaban. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan Al-Bukhori dari ‘Ubadah Bin Shamit:
Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya.

Jelaslah, bahwa sanksi islam tidak sekadar hukuman “ngasal” yang menjadi formalitas dan administratif untuk dilakukan karena seseorang telah melakukan pelanggaran, atau bahkan tidak dihukum. Pelaku tidak akan dimintai lagi pertanggungjawaban atas perbutan maksiatnya itu, karena telah ditebus ketika di dunia. Di samping bermanfaat bagi pelaku, hukum islam juga bermanfaat bagi tatanan masyarakat. Allah telah berfirman bahwa pemberlakuan sanksi Islam akan menjadi sarana pencegah (jawazir) terjadinya perbuatan kriminal baru.

Dan dalam hukum qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [Q.S. Al-Baqarah : 179]

Maksud kelangsungan hidup di sini berdasarkan kitab tafsir Ruhul Ma’aniy (Al-Alusi, 2/1130), ada nyawa-nyawa masyarakat yang akan tertolong dari tindakan maksiat dan kriminal. Hukuman yang berat membuat efek jera bagi masyarakat lain sehingga takut melakukan hal yang serupa. Itulah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi, yang mengatur akidah dan penerapan Syariah di dalamnya. Agama yang memberikan solusi atas segala problematika kehidupan beserta metode penerapannya.

Korupsi jelas merupakan tindakan yang haram dilakukan sesuai syariat, karena mengambil harta yang bukan haknya, menipu rakyat, dan menyalahgunakan amanah. Jelas sudah, korupsi tidak akan bisa diberantas hanya sekadar dengan merevisi UU, memenjarakan seumur hidup para koruptor, bahkan mengganti presiden sekalipun. Hanya dengan penerapan Islam kaffah dalam institusi Khilafahlah korupsi akan benar-benar mati.

 

[LS/Hw]

Please follow and like us:

Tentang Penulis