#UstazahMenjawab

Oleh: Ustazah Wardah Abeedah

 

Tanya:

Assalamu’alaikum ustazah. Saya ada pertanyaan terkait poligami. Sekalipun ini perkara mubah, tapi apakah benar seorang suami itu tidak mesti bilang ke istrinya semisal ingin berpoligami?

Dan menurut ustazah bagaimanakah seharusnya pemahaman poligami ini ditanamkan di tengah-tengah masyarakat hari ini? Terlebih di tengah tantangan feminis saat ini.

Jazakillah khoir

(Ummu Royya, Jakarta)

 

Jawab:

Dalam Islam, izin dalam arti dari pihak lain hanya berlaku bagi seorang wanita. Yaitu izin dari pihak wali yang dalam hal ini adalah ayah kandungnya sebagai wali mujbir.

Sedangkan seorang laki-laki tidak membutuhkan wali atau izin dari pihak mana pun dalam menentukan pernikahannya. Pun tidak ada prasyarat khusus dalam berpoligami karena baik poligami atau monogami, dalam syariat dinilai sama sebagai sebuah pernikahan.

Artinya, rukun nikahnya sama, sunnah melaksanakan walimahnya sama, hak dan kewajiban suami istri juga sama. Hanya saja, dalam Islam ada perintah bagi suami untuk memperlakukan istri dengan makruf.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan bergaullah dengan mereka secara patut…” [An-Ni-saa’/4: 19].

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Yakni perbaguslah ucapan kalian kepada mereka, dan perbaguslah perbuatan kalian dan keadaan kalian sesuai kemampuan kalian, sebagaimana kalian menyukai hal itu dari mereka.”

Maka, dilihat dari segi kemakrufan, menikah lagi tanpa izin istri pertama menjadi tidak ma’ruf meski pernikahannya tetap sah di mata syariat. Padahal tujuan Allah mensyariatkan pernikahan adalah agar terwujud sakinah (ketenangan), mawaddah dan rahmah. Tentunya akan sulit membangun dua bahtera rumah tangga yang keduanya sakinah, mawaddah dan rahmah jika pernikahan kedua diawali dengan ketidak makrufan.

Seharusnya setiap muslim memandang poligami dengan pandangan yang shahih sebagaimana dijelaskan syariat. Baik itu menikah dengan satu, dua, tiga, ataupun empat istri, menikah adalah ibadah yang memiliki konsekwensi dan tanggungjawab yang tidak mudah.

Hukum menikah adalah sunnah, sedangkan hukum beristri lebih dari satu adalah mubah. Bahkan dalam kondisi tertentu, poligami bisa menjadi solusi. Dalam kondisi perang, sehingga jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada lelaki, terdapat banyak janda dan anak yatim misalnya.

Pernikahan, apapun bentuknya (monogami atau poligami) tujuannya adalah untuk mewujudkan sakinah, mawaddah, dan rahmah (SAMARA). SAMARA ini tidak terjadi secara otomatis ketika akad nikah berlangsung. Allah telah menciptakan sepangkat syariat pernikahan berupa kewajiban-kewajiban suami yang menjadi hak-hak istri, begitu pula sebaliknya. Jika suami-istri mentaati Allah dengan melaksanakan semua kewajiban-kewajiban tersebut ikhlas karena Allah, maka Allah akan karuniakan SAMARA. Namun jika sebaliknya, maka rumah tangga akan seperti neraka dunia.

Maka ketika hendak berpoligami, butuh banyak pertimbangan. Apakah suami akan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang menjadi hak istri keduanya, tanpa menzalimi istri pertama? Apakah sang suami sudah berhasil mendidik istri pertama sehingga bisa rida terhadap keputusan suami sehingga akan tetap mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang menjadi hak suami, karena Allah?

Karena bagi wanita manapun, berbagi kasih sayang suami, waktu, dan lain-lainnya tentu bukan hal mudah. Adalah suatu kemakrufan jika suami mempersiapkan istri sebelum menikah lagi. Karena mendidik istri bagian dari kewajiban suami yang menjadi ibadah di sisi Allah.

Bagi istri, jika tujuan poligami suami adalah karena Allah, dan tidak ada alasan syar’i untuk menentang suami menikah lagi, maka rida terhadap keputusan suami adalah pilihan terbaik.

Allahu a’lam

 

[Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis