Maulid Nabi dari Masa ke Masa: Jejak Sejarah dan Perubahan Tradisi di Dunia Islam


Oleh: Sanznuya El-Fatih

 

 

LenSa MediaNews__ Pertanyaan :

Bagaimana kondisi suasana Maulid Nabi di masa kekhalifahan Islam, apakah dirayakan seperti sebagian muslim sekarang, atau justru tidak ada perayaan sama sekali? Berikan penjelasan detailnya. Dan bagaimana masing-masing perayaan Maulid dari masa Fathimiyah hingga Utsmaniyah?

 

Jawaban :

Pada masa awal kekhalifahan Islam, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak dikenal seperti yang kita lihat dalam tradisi sebagian muslim saat ini. Tradisi ini berkembang secara bertahap dan baru mulai dikenal beberapa abad setelah wafatnya Nabi Muhammad. Berikut adalah perkembangan perayaan Maulid Nabi dari masa Dinasti Fathimiyyah hingga Kesultanan Utsmaniyah:

 

1. Masa Khulafaur Rasyidin (632–661 M) dan Dinasti Umayyah (661–750 M)

Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah, tidak ada perayaan Maulid Nabi yang tercatat. Pada masa-masa awal ini, umat Islam lebih fokus pada penyebaran ajaran Islam, menjaga syariat, dan memerangi ancaman eksternal. Tradisi ibadah lebih berfokus pada ritual yang disyariatkan seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Tidak ada inovasi atau bentuk tradisi baru seperti perayaan Maulid Nabi.

 

2. Masa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M)

Pada masa ini, Maulid Nabi mulai diperkenalkan, tetapi tidak tersebar luas. Dinasti Abbasiyah terkenal dengan dukungannya terhadap ilmu pengetahuan, budaya, dan seni, sehingga berbagai tradisi budaya mulai berkembang. Namun, perayaan Maulid masih terbatas dalam lingkup tertentu dan belum menjadi tradisi yang umum di seluruh wilayah Islam.

 

3. Masa Dinasti Fathimiyyah (909–1171 M)

Perayaan Maulid Nabi pertama kali diresmikan oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir, yang beraliran Syiah Ismailiyah. Dinasti ini menggunakan perayaan Maulid sebagai alat politik untuk memperkuat klaim mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan memperkuat legitimasi kekuasaan mereka.

 

Bentuk Perayaan: dilakukan dengan serangkaian acara keagamaan seperti pembacaan puisi, sirah Nabi, shalawat, dan jamuan makan besar yang melibatkan pejabat dan masyarakat umum.

 

Tujuan: Selain sebagai bentuk kecintaan terhadap Nabi, perayaan ini juga digunakan sebagai alat propaganda politik untuk mendukung klaim Fathimiyyah sebagai pemimpin yang sah.

 

4. Masa Dinasti Ayyubiyah (1171–1250 M)

Setelah Salahuddin Al-Ayyubi menggulingkan Dinasti Fathimiyyah dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah yang Sunni, perayaan Maulid tetap berlangsung meskipun dengan penyesuaian. Salahuddin sendiri tidak mempromosikan perayaan ini secara besar-besaran, tetapi tidak melarangnya.

 

Bentuk Perayaan: Fokus perayaan beralih pada pembacaan kisah Nabi, kajian keagamaan, dan kegiatan amal, dengan skala yang lebih sederhana dibandingkan dengan masa Fathimiyyah.

 

Tujuan: Selain bentuk spiritual, perayaan ini menjadi sarana mempererat hubungan antara penguasa dan rakyat, serta memperkuat ajaran Sunni di wilayah kekuasaan mereka.

 

5. Masa Dinasti Mamluk (1250–1517 M)

Pada masa Dinasti Mamluk, perayaan Maulid Nabi menjadi lebih terstruktur dan diinstitusionalisasikan. Pemerintah mendukung secara aktif perayaan ini, yang kemudian melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan berlangsung secara besar-besaran.

 

Bentuk Perayaan: Acara berlangsung beberapa hari, dengan kegiatan seperti pembacaan Al-Qur’an, qasidah, shalawat, dan jamuan makan besar yang diadakan oleh penguasa untuk rakyat. Perayaan ini sering diadakan di masjid-masjid besar dan melibatkan para ulama, pejabat, dan masyarakat.

 

Tujuan: Mamluk menggunakan perayaan ini sebagai alat untuk menunjukkan kesalihan penguasa dan memperkuat loyalitas rakyat kepada mereka.

 

6. Masa Kesultanan Utsmaniyah (1299–1922 M)

Perayaan Maulid Nabi mencapai puncak popularitasnya pada masa Kesultanan Utsmaniyah. Kesultanan ini memainkan peran besar dalam menyebarkan perayaan Maulid di seluruh wilayah kekuasaannya. Perayaan Maulid menjadi tradisi tahunan resmi yang dirayakan dengan megah.

 

Bentuk Perayaan: Di Istanbul misalnya, perayaan ini dilakukan dengan prosesi besar yang melibatkan Sultan dan anggota kerajaan, diiringi dengan pembacaan sirah Nabi, qasidah, dan shalawat. Masjid-masjid besar menjadi pusat acara, dan jamuan makan besar diadakan untuk seluruh masyarakat.

 

Tujuan: Kesultanan Utsmaniyah menggunakan perayaan ini sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antara negara dan agama, memperlihatkan kemegahan kerajaan, dan menegaskan posisi Sultan sebagai pelindung Islam.

 

Kesimpulan

Pada masa awal kekhalifahan, tidak ada perayaan Maulid Nabi. Tradisi ini baru diperkenalkan pada masa Dinasti Fathimiyyah di Mesir dan berkembang lebih jauh pada masa Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, dan akhirnya mencapai puncak popularitas di bawah Kesultanan Utsmaniyah. Bentuk dan tujuan perayaan ini bervariasi, mulai dari alat politik dan propaganda, hingga ekspresi kesalihan dan penguatan ikatan antara agama dan negara.

Please follow and like us:

Tentang Penulis