RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Melegalkan Zina?

Oleh : Punky Purboyowati S. S*

 

LensaMediaNews- Kontroversi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kejahatan Seksual (RUU PKS) hingga kini masih hangat dibicarakan. Sebagian kalangan menilai bahwa RUU ini justru melegalkan zina, LGBT, dan penyakit turunannya. Seperti yang disampaikan oleh Koordinator Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati), Hanifah Husein serta Sekretaris Majelis Nasional Forhati, Jumrana Salikki menyatakan sikap menolak RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang dibahas DPR dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme sehingga RUU PKS ini memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan LGBT, serta pergaulan bebas. (m.antaranews.com, 15/7/19).

 

Adapun dari organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi dalam menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sebab aturan dalam RUU itu dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas. Humas ACN Alwyah mengatakan banyak pasal dalam RUU tersebut yang tidak memiliki penjelasan secara rinci dan menjadi bias makna. Misalnya, terkait orientasi seksual yang multitafsir. (m.medcom.id, 14/7/19).

 

Kaum feminis nyatanya terus menyebarkan gagasan absurdnya. Gagasan sebelumnya yang pernah dilontarkan yaitu Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). KKG merupakan frasa yang digunakan oleh kalangan feminis, aktivis sosialis dan pejabat negara untuk menyebut ketidaksetaraan yang dialami kaum wanita. Untuk itulah KKG sering dikaitkan dengan diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, marjinalisasi dan semacamnya. Kaum feminis liberal mengeluarkan gagasan yang sejatinya bertentangan dengan fitrah dan naluri perempuan.

 

Maka gagasan RUU PKS oleh Komnas Perempuanpun absurd alias tidak masuk akal dan berbahaya. Bila gagasan ini tak mampu dicerna oleh para perempuan, akan menjerumuskan pada tindakan yang menyimpang. Sebab dalam draft RUU PKS, hanya mengatur bentuk kekerasan seksual. Dalam pengertian segala pemaksaan atas perilaku. Dipastikan ujung-ujungnya akan menyerang pemikiran Islam. Misalnya seruan kewajiban menutup aurat bagi perempuan, akan dianggap sebagai bentuk pemaksaan. Padahal maraknya kasus kekerasan seksual, oleh karena aurat perempuan yang terbuka ditempat umum menyebabkan munculnya syahwat laki-laki. Lebih dari itu ketika RUU PKS ini disahkan, akan berpeluang pada penyimpangan seksual lainnya yaitu pelegalan atas perbuatan zina (sex bebas) dan LGBT yang dilandasi atas dasar suka sama suka yang dibiarkan terjadi. Disinilah letak masalah dari RRU PKS ini. Sebab tidak membahas tentang penyimpangan seksual tersebut. Pun dikhawatirkan ketika terjadi kekerasan seksual di lingkup rumah tangga, RUU PKS bisa disalahgunakan perempuan berlindung dibaliknya. Ujungnya, perceraian yang terjadi. Dan bisa diperkirakan kasus perceraian akan semakin meningkat.

 

Alhasil komnas perempuan tak mampu melindungi kaum perempuan itu sendiri. Justru melalui RUU tersebut, perempuan dipaksa agar sejalan dengan pemikiran feminis yang liberal. Padahal bila diteliti lebih jauh, akar masalah adanya kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai dampak dari penerapan sistem Sekuler liberal. Akibat gaya hidup liberal, perempuan bebas menentukan sikapnya. Maka perempuan harusnya menyadari bahwa KKG dan RUU PKS tak mampu memberi solusi. Saatnya perempuan kembali pada solusi yang berasal dari Islam.

 

Sistem Islam sejatinya memuliakan perempuan. Namun oleh karena kebencian kaum liberal terhadap Islam yang kian terus ditampakkan, wajar solusi Islam atas perempuan hanya sebatas wacana. Maka agar mampu diterapkan dalam kehidupan nyata, dibutuhkan tiga pilar. Yang pertama yaitu ketaqwaan individu dalam keluarga. Terbentunua syakhsiyah Islam pada individu sangat diperlukan apalagi di tengah arus liberalisasi saat ini.

 

Kedua, pengontrolan masyarakat. Masyarakat yang sadar akan bahaya sekulerisme dan liberalisme yang menyebabkan muslim terjerumus dalam kemaksiatan, akan berupaya mencegahnya. Tentunya adanya saling amar makruf nahy munkar di dalamnya. Pengontrolan masyarakat ini memudahkan bagi negara mengontrol warganya.

 

Ketiga, penerapan aturan syariat Islam dari penguasa. Kebijakan penguasa memiliki pengaruh penting bagi terciptanya masyarakat agar taat syariat. Dengan demikian, meminimalisir adanya individu yang menyimpang. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun suasana harmonis dalam lingkup keluarga, masyarakat terlebih negara.

 

Demikianlah tiga pilar yang harus diwujudkan demi terciptanya lingkungan yang kondusif. Terlebih dalam konteks saat ini. Saatnya negeri ini melindungi perempuan dengan aturan Islam agar tak ada lagi pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan sesaat.

 

Ingatlah firman Allah Ta’ala, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah ayat 50). Wallahua’lam bisshowab. [RA/WuD]

 

*Pegiat Pena Peduli Masalah Sosial

Please follow and like us:

Tentang Penulis