Monsterisasi Ide Khilafah Menyuburkan Virus Islamophobia
Oleh: Iiv Febriana
(Komunitas Muslimah Rindu Syariah, Sidoarjo)
LensaMediaNews- Meskipun Surat Keputusan Badan Hukum Perkumpulan (SK BHP) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dicabut oleh Pemerintah tanggal 19 Juli 2017, dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di tingkat banding, namun cerita belum berakhir di sini. Meskipun HTI sudah “dibubarkan”, pemerintah akan terus mengejar siapa pun yang masih turut menyebarkan paham khilafah, karena ideologi khilafah yang diusungnya dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Komitmen pemerintah untuk mengejar para penyebar paham khilafah itu disampaikan langsung oleh Menko Polhukam Wiranto. Dia menegaskan, bila ada pihak yang masih menyebarkan paham tersebut, maka konsekuensinya ialah jeratan hukum.
Di media sosial baru-baru ini viral foto dan video siswa MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 1 Sukabumi mengibarkan bendera bertuliskan kalimat Tauhid di halaman sekolah.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan, pihaknya telah menerjunkan tim khusus untuk menelusuri kasus pengibaran bendera tauhid tersebut dan pada akhirnya menyatakan bahwa pengibaran bendera tauhid tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan HTI.
Khilafah vs Demokrasi
Membandingkan demokrasi dengan khilafah itu tidak sepadan. Semenjak khilafah sebagai institusi hilang, maka khilafah kini sekadar gagasan. Sebaliknya, demokrasi sebagai gagasan mampu diterapkan karena ada institusinya. Diakui atau tidak, demokrasi yang telah menjadi sistem politik dan aturan dipaksakan oleh penjajah ke negeri yang baru dibentuk. Demokrasi pasca rezim otoritarianisme dianggap sistem yang terbaik.
Penjajahan belum berakhir, namun beralih dari model lama ke model baru yang lebih halus agar tidak berkesan penjajahan. Dengan bertahannya demokrasi, atas nama investasi, penjajahan bisa tetap langgeng maka keberadaan khilafah tentu menakutkan bagi penjajah dan kaki tangannya.
Khilafah merupakan konsep politik Islam, yang dalam dekade ini Islam menjadi musuh bersama semua rezim di dunia. Nilai-nilai liberal dan sekular lebih bisa diterima yang pada akhirnya menempatkan Islam pada aspek ritual semata. Keliberalan dan kesekularan adalah harga mati bagi demokrasi.
Maka tak heran sistem ini sangat alergi dengan ide khilafah dan akan melakukan segala cara untuk mencegah tegaknya kembali sistem ini. Negara Barat sendiri mengakui kekuatan khilafah berdasar sejarah di masa lalu dan menganggap ide pembentukan neo-khilafah atau yang mereka sebut sebagai “Islamic Super Power” adalah ancaman kepentingan mereka dalam melestarikan hegemoni politik dan ekonomi atas negeri umat Islam.
Khilafah Ajaran Islam
Al Khilâfah dalam Alquran berasal dari akar kata khalfun yang arti asalnya “belakang” atau lawan kata “depan”. Kata kerja yang muncul dari kata khalfun adalah kha-la-fa artinya mengganti, dan kata is-takh-la-fa yang artinya menjadikan sesuatu sebagai pengganti.
Dalam Alquran, Allah menyebut dua kali kata khalifah. Pertama, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30, “Inni ja’il fi al-ardh khalifah“. Kedua, terdapat pada surat Shaad ayat 26, “Ya Dawud Inna ja’alnaka khalifah fi al-ardh“.
Khalifah dapat diartikan sebagai pengganti atau wakil, dalam hal ini pengganti atau wakil Allah di muka bumi dan dapat diartikan juga sebagai pemimpin.
Adakah buku fikih yang menulis tentang Khilafah? Dalam buku Fiqh Islam karya ulama Nusantara Sulaiman Rasjid, pada Kitab al-Khilafah, disebutkan Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam. Ada pula dalam kitab Nizhȃm al-Hukm fi al-Islȃm karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, dijelaskan khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
Dengan demikian, khazanah fikih siyasah menjadi bukti kuat bahwa sistem pemerintahan Islam itu sudah memiliki penjelasan, ketentuan, dan rincian, serta bisa diimplementasikan dalam kehidupan.
Jika kita memahami khilafah bersumber dari ajaran dan hukum Islam maka sebagai konsekuensi iman inilah yang melandasi umat lebih yakin pada kabar dan janji dari Allah dan Rasul-Nya, daripada konsep manusia yang sering berubah-ubah.
Karena itu umat Islam tidak perlu mengambil sistem pemerintahan dan sistem politik apapun selain sistem pemerintahan dan politik Islam semata. Sebab dalam pandangan Islam, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bukan sesuai keinginan ambisi pribadi, namun harus terikat hukum Allah SWT sebagai Sang Pencipta yang paling memahami manusia dan alam semesta.
Terlebih lagi sebagai seorang muslim dirinya meyakini bahwa setiap kebijakan dan perbuatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Masihkah kita menganggap bahwa sistem buatan manusia lebih baik dari buatan Allah SWT Pencipta manusia dan alam semesta?
[LS]