Kekeringan Melanda, Tanda Alam Butuh Riayah Negara

Oleh : Uqy Chan
(Pegiat Pena & Member WCWH)

 

LensaMediaNews- Ancaman kekeringan memang suatu fenomena alam yang sering dijumpai. Di Indonesia sendiri ada beberapa wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan ekstrem. Salah satunya berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa wilayah yang memiliki potensi kekeringan yaitu yang telah mengalami HTH (Hari Tanpa Hujan) lebih dari 60 hari dan diperkirakan curah hujan rendah alias kurang dari 20 mm dalam 10 hari mendatang dengan peluang lebih dari 70%. Daerah itu meliputi Bekasi, Karawang, dan Indramayu di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Buleleng (Bali), Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Maka untuk menghadapi kekeringan, berbagai cara dilakukan. Dari pihak Kementan, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Sarwo Edhy mengatakan, pihaknya melakukan optimalisasi pompa di sejumlah wilayah terdampak. Bahkan, penggunaan pompa-pompa sudah dilakukan sejak empat tahun terakhir. Berdasarkan catatannya, Kementan telah mengalokasikan sekitar 200.000-an pompa dengan berbagai jenis ukuran. Adapun wilayah-wilayah yang terdampak kekeringan lahan yang belum memiliki pompa dihimbau segera mengajukan kepada dinas pertanian di wilayah masing-masing. Selain itu, guna mengantisipasi kekeringan pihaknya telah membangun banyak infrastruktur air. (ekbis.sindonews.com/5/7/19).

Bencana kekeringan memang fenomena alam yang tak mampu dihindari. Namun bila dicermati, kekeringan melanda bukan sekedar fenomena alam. Akan tetapi karena adanya paradigma yang keliru tentang konsep pembangunan. Demi investasi besar, pengerjaan sektor pembangunan lebih diutamakan tanpa memperhatikan kondisi alam.

Pendirian proyek besar seperti industri pertambangan, memperluas kota, sarana transportasi dan sebagainya dibangun berdasarkan sistem Sekuler Kapitalistik yang hanya mementingkan keuntungan. Pembangunan atas nama investasi yang rata – rata dimiliki asing telah merusak alam dan telah beralih fungsi. Alhasil fungsi tanah menjadi minim untuk menyerap air. Ditambah adanya industri, telah membuat air tercemar sehingga tanah menjadi tak produktif lagi. Maka wajar ketika musim kemarau tiba, air menjadi langka.

Padahal sejatinya, alam memberi kebaikan bagi manusia. Oleh karena itu ketika manusia memanfaatkan alam, hendaknya sesuai dengan aturan pencipta. Karena itulah kekeringan bukan sekedar dimaknai sebagai fenomena alam biasa. Sebab masalah kekeringan tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan teknis dan sains semata. Tetapi diperlukan pendekatan multi aspek, terutama dalam upaya merubah pola pikir masyarakat terhadap pola pembangunan dan pengelolaan alam. Maka dibutuhkan sistem yang mampu mengelolanya secara bijak tanpa harus melanggar ekosistem yang ada.

Islamlah sebuah sistem yang mampu mengaturnya. Islam, agama yang memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan manusia dan alam semesta. Negara Islam (Khilafah) memiliki upaya sistematis dalam mengatasi kekeringan. Sebab itu masalah kekeringan merupakan tanda alam butuh riayah (pengurusan) dari negara. Tanpa riayah nasib alam menjadi kelam. Sebab ulah manusia yang kejam.

Untuk menghadapi kekeringan, maka secara teknisnya negara bersama masyarakat membangun, merehabilitasi dan memelihara jaringan irigasi. Termasuk waduk-waduk, dengan kincir air dan mesin penggerak air di sejumlah titik yang dibutuhkan dan rentan kekeringan.

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Umayyah. Beliau membangun irigasi yang sangat canggih di seluruh wilayah yang terkenal di Irak. Pompa-pompa juga dikembangkan untuk mendukung irigasi itu. Upaya teknis lainnya yaitu melindungi hutan lindung atau daerah resapan air agar tetap pada fungsinya. Sekaligus mencegah pihak – pihak yang berusaha melanggarnya. Dan yang paling penting dilakukan yaitu sikap amanah, kerja keras dan sungguh-sungguh dari Khalifah untuk mencegah dan mengatasi bencana kekeringan. Sebagaimana pula yang dilakukan Khalifah Umar. Beliau bekerja keras, siang dan malam melayani dan mengurusi rakyatnya ketika mereka tertimpa kekeringan dan kelaparan.

Semua ini harus dilakukan negara sebagai pelaksana sistem. Sektor pembangunan harus dilakukan dengan kehati-hatian. Bagaimanapun, pola pembangunan turut bertanggungjawab atas fakta kekeringan. Pembangunan yang tidak dibangun berlandaskan aqidah Islam bisa saja mengabaikan hak-hak alam. Alam menjadi rusak karena ulah manusia sendiri.

Saatnya negeri ini menghentikan berbagai kebijakan yang dapat merugikan rakyat. Negeri ini harus berbenah agar tidak lagi serakah, yang membuat hidup tidak berkah. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah niscaya membawa kebaikan bagi seluruh alam.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya“. (Qs. Al A’raf 96).

Wallahu a’lam bisshowab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis