Kekeringan, Hanya Fenomena Alam Biasa?
Oleh: Ayu Ramadhani
(Aktifis The Great Muslimah Comunity, Mahasiswi Universitas Negri Medan)
LensaMediaNews- Kekeringan memang menjadi momok menakutkan. Ancaman yang menjadi “program tahunan” ini kerap menjadi kegundahan masyarakat. Indonesia sebagai negara dalam lintas Khatulistiwa memang harus bersiap dengan terpaan dua musim, terutama musim kemarau yang mengakibatkan kekeringan di sejumlah wilayah.
Sebagaimana yang dimuat dalam ekbis.sindonews.com, (5/7/2019) bahwa daerah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara harus bersiap-siap menghadapi kekeringan. Hal ini disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berdasarkan hasil mentoring hari tanpa hujan (HTH) hingga tanggal 30 Juni 2019.
Kekeringan bukan sekedar fenomena alam biasa, pasalnya kekeringan ini akan berdampak pada krisis air bersih dan potensi gagal panen dan kenaikan harga produk pertanian, seperti yang diungkapkan oleh Kepala BMKG, Tony Agus Wijaya (m.republika.co.id, (12/7/2019)). Menyikapi kekeringan di beberapa wilayah, pemerintah pusat dan daerah mempersiapkan rancangan menghadapi persoalan pelik ini.
Dilansir dalam ekbis.sindonews.com, (5/7/2019) bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyiapkan sumur-sumur, mobil tangki, dan balai-balai. Sedangkan Kementerian Pertanian (Kementan) telah membekali kelompok tani dengan pompa, bahkan dalam empat tahun terakhir Kementan telah meluncurkan lebih dari 200.000 pompa.
Kekeringan yang melanda tahun ini, bukanlah sekedar efek dari musim kemarau sebagai dampak letak negara dalam lintas khatulistiwa. Namun perlu diteliti lagi, bahwa masalah yang muncul ini adalah dampak dari salahnya pradigma pembangunan yang berakibat kerusakan alam di wilayah tersebut. Kekeringan yang menerjang diketahui banyak menimpa wilayah Pulau Jawa terutama Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta (ekbis.sindonews.com, (5/7/2019)). Melalui sensus kependudukan tahun 2019 diketahui pula bahwa 56,35% penduduk Indonesia berdomisili di Pulau Jawa, 1,63% di Bali dan 3,9% di Nusa Tenggara.
Kepadatan penduduk tertinggi dan keberadaan ibu kota di Pulau Jawa, Provinsi Bali dan Nusa Tenggara sebagai destinasi wisata, kian menjadikan wilayah-wilayah tersebut tampak “istimewa”. Keistimewaan ini menjadi alasan adanya pembangunan, mulai dari infrastruktur dan pembangunan untuk meraup keuntungan. Hal ini merupakan faktor penyumbang terbesar masalah kekeringan. Salahnya paradigma pembangunan adalah menjadikan kapitalis sekuler sebagai landasannya. Alhasil kekeringan hanyalah dampak dari sistem yang bertabiat rakus dan merusak.
Dari paradigma pembangunan kapitalis-sekuler yang bathil ini, mengakibatkan kerusakan alam dan sejumlah kerugian. Dimulai dari minimnya air bersih dan gagal panen yang menjadi mata pencaharian penduduk, tingginya harga jual hasil pertanian dan terkurasnya kas negara.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh Kepala BPDB Gunungkidul, Edy Basuki bahwa Pemkab Gunungkidul menyediakan anggaran droping sebesar Rp 530 juta (ekbis.sindonews.com, (5/7/2019)). Bayangkan saja untuk menghadirkan “solusi” dari kekeringan, setiap pemerintah kabupaten setidaknya harus menyediakan anggaran 530 juta setiap tahunnya. Padahal jumlah kabupaten yang mengalami kekeringan tidaklah sedikit dan terus bergilir.
Alam sejatinya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun tidak menjadikan manusia semena-mena dalam pengelolaan alam. Islam telah mengatur pengelolaan alam dan kekayaannya. Hadirnya negara, dengan memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang mengakibatkan kerusakan. Alam akan selalu memberikan kebaikan asal manusia tunduk dengan aturan-Nya. Maka hal yang sangat urgent untuk diperhatikan landasan apa yang kita gunakan.
Asal sistem dan aturan yang lahir dari AlQuran dan As-Sunnah menjadi landasan dalam seluruh aspek kehidupan, maka kehidupan dengan penuh berkah akan terjamin dan dirasakan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-‘Araf Ayat 96 :
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Maka penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan adalah solusi tunggal yang shahih. Satu-satunya sistem yang mampu mengembalikan peran agama adalah sistem kehidupan yang lahir dari akidah Islam. Aturan yang berasal dari Sang Pencipta, bukan dari lemahnya akal manusia, yang hanya berfikir manfaat dan eksistensi dirinya. Lantas, masihkah kita berpangku tangan? Masih menganggap kekeringan adalah fenomena alam biasa? Tidakkah jelas peringatan Allah SWT? Masihkah kita berpegang pada sistem ingkar nan rapuh ini?
Wallahu’alam bi a’ showab.
[LS/Ry]