NKRI Harga Menteri!
Oleh: Nurhayati, S.ST
(Media Muslimah Kendari)
LenSaMediaNews– No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Istilah ini layak disematkan bagi rezim petahana saat ini. Baru-baru ini masyarakat dihenyakkan kembali dengan pemberitaan para pendukung koalisi yang berbondong-bondong “minta jatah” pada posisi menteri, sebagai bentuk politik balas budi atas dukungan mereka terhadap petahana.
Hal ini benar adanya, sebagaimana Golkar yang disampaikan langsung oleh Wasekjen Golkar Maman Abdurrahman kepada Kumparan.com, Rabu (3/7/19), menurutnya partainya adalah partai yang pertama kali mendukung penuh pencapresan Pak Jokowi jauh sebelum partai-partai lain mendukung. Sejalan dengan Golkar, kubu PKB pun ikut pasang badan dalam memperebutkan kursi Menteri, melalui Cak Imin mengusulkan 10 nama kandidat Menteri (Sindonews.com, 2/7/2019).
Demokrasi Sistem Transaksional
Fenomena bagi-bagi kursi memang sudah melekat dalam sistem demokrasi. Sebab koalisi dibangun berdasarkan kepentingan. Akhirnya, tidak ada teman yang abadi dalam politik. Yang ada adalah kepentingan abadi. Pertemanan dalam sistem politik demokrasi yang kita lihat saat ini adalah saling sikut yang dilakukan oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Perihal jabatan menteri pun kita temukan tidak dijabat oleh orang yang memiliki kapabilitas di bidang terkait.
“Pilihan rakyat” dalam sistem ini hanyalah jargon penuh ilusi, sebab untuk menentukan layaknya seorang menteri adalah bukan sebab penguasanya secara independen akan tetapi adalah orang yang berada di belakangnya/mendukungnya. Tak peduli orang yang ditunjuk ahli atau tidak. Lalu bagaimana nasib rakyat 5 tahun kedepannya? Hanya akan terus gigit jari dengan kebijakan-kebijakan yang lahir dari kezaliman penguasa.
Hal ini terjadi karena sistem politik demokrasi adalah sistem transaksional, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan adalah kekuatan tertinggi, yang menentukan benar dan salah, juga sah dan tidak. Sementara itu, ketika benar dan salah, sah dan tidaknya diserahkan kepada rakyat, bukan hukum syara’. Semuanya ditentukan oleh kepentingan. Di sinilah pangkal lahirnya transaksi-transaksi politik seperti bagi-bagi kursi.
Tak heran ketika mengeluarkan kebijakan tanpa memandang apakah rakyat setuju atau tidak, sebab pada kenyataanya mereka tidak bekerja untuk rakyat akan tetapi merealisaskan ambisi partainya. Karena mereka dalam bekerja pun tidak lebih sebagai “petugas partai” yang mana akan menjalankan kehendak partai pengusungnya.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan transnasional yang berasaskan ideologi sekular kapitalisme. Dengan konsep asalnya yang sekular itu, demokrasi anti Tuhan. Kebenaran demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak sehingga kebenaran menjadi relatif (nisbi). Tak ada kebenaran mutlak. Maka wajar saja jika ambisi-ambisi untuk meraih kekuasaan negara oleh sejumlah elit politik dilakukan dengan menghalalkan segala cara tanpa melirik aturan agama.
Sistem demokrasi-kapitalis yang diterapkan saat ini membentuk orang-orang yang menjadikan akal, hawa nafsu dan kepentingan sebagai landasan membuat hukum. Hukum inilah yang akhirnya digunakan mengatur kehidupan. Sehingga hukum ini tidak mampu memberikan kesejahteraan, tidak mampu menyelesaikan permasalahan, saling berbenturan pendapat dan kepentingan satu sama lain. Hukum ini juga mengundang murka Allah karena manusia memposisikan dirinya menyaingi Allah dalam hak membuat hukum, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah….” (TQS. Al An’am : 57)
Politik Islam untuk Mengurus Rakyat
Dalam sistem Islam permasalahan seperti ini tidak akan terjadi karena dari awal individu warga negara dibentuk agar menjadikan akidah islam sebagai landasan perbuatan. Membentuk individu yang memahami semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Apalagi seorang penguasa di dalam Islam. Posisinya sangat penting dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam dan tanggungjawabnya juga besar untuk mengurusi semua urusan rakyat.
Abu Ja’la (ma’qil) bin Jasar r.a berkata: “saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga.” (HR Bukhari dan muslim).
Ibnu Umar r.a berkata, “saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR.Bukhari, muslim)
Jadi, sudah saatnya umat tidak lagi berharap pada sistem buatan manusia yang selalunya mengecewakan. Solusi yang seringkali diabaikan adalah dengan diterapkannya syariat Islam secara menyeluruh yang kemudian akan lahir pemimpin yang baik dan bertakwa semata-mata untuk mengurus kepentingan rakyatnya bukan lagi atas dasar kepentingan duniawi.
Wallahu al musta’an[]
[Lm/Hw/Fa]