Memutus Rantai Perdagangan Perempuan

Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)

 

LensaMediaNews- Menjelang peringatan hari Anti Perdagangan Manusia 30 Juli, sejumlah kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) belum terselesaikan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebutkan sebanyak 29 WNI menjadi korban pengantin pesanan China. Data tersebut diperoleh berdasarkan pengaduan korban sepanjang 2016-2019 (m.detik.com, 23/06/2019).

Masih dari sumber yang sama, diduga kuat pengantin pesanan merupakan modus dari TPPO. Sebab ada unsur yang mengarah pada TPPO seperti ada unsur, proses, cara dan eksploitasi. Ada pendaftaran, penampungan, pemindahan hingga dikirim ke luar negeri. Para korban dijanjikan akan menikah dengan orang kaya asal China, serta mereka diimingi-imingi akan dijamin seluruh kebutuhan hidup korban dan keluarganya. Namun sesampainya di China, korban justru diperkerjakan dengan durasi waktu yang lama.

Dari total 29 orang, baru 3 yang sudah dipulangkan. Sisanya masih bersama suami mereka. LBH Jakarta dan SMBI telah mendesak kepolisian untuk membongkar sindikat penjualan yang telah terorganisir ini. Namun sayangnya penanganannya justru terkesan lambat. Karena hingga kini baru satu pelaku yang tertangkap. Sedangkan pelaku yang lainnya masih melenggang bebas mencari mangsa yang baru.

Meskipun kini kita telah hidup di era modern, nyatanya sistem perbudakan masih kerap terjadi. Sebagian besar korbannya adalah perempuan dan sisanya anak-anak. Para korban biasanya sering dipaksa untuk bekerja sebagai buruh, pembantu hingga menjadi pekerja seks komersial.

Tindak perbudakan ini telah berlangsung lama, namun hingga kini belum ada solusi yang memberikan hasil nyata. Penyebab utamanya karena penerapan sistem sekuler kapitalistik. Dimana solusi yang ditawarkan tak pernah menyentuh akar permasalahan. Alih-alih masalah teratasi justru permasalahan yang baru akan muncul kembali. Karena kesetaraan gender yang dianggap sebagai penyelamat, nyatanya justru membawa petaka.

Sistem sekuler kapitalistik melahirkan individu yang mendewakan materi. Kehidupan yang dijalani hanya untuk mengejar urusan dunia. Halal dan haram bukan lagi menjadi persoalan. Karena hidup di alam sekuler bebas dari aturan.

Para korban TPPO sendiri kebanyakan dari keluarga yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Maka tak heran jika lahir generasi dengan tingkat berpikir yang rendah. Melihat segala sesuatu berdasarkan apa yang tampak saja. Terlebih para korban juga berasal dari keluarga miskin. Maka tak heran jika mereka mudah terbujuk rayu oleh penipu. Padahal mereka hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Meskipun kenyataannya hidup di era kapitalis harus realistis, tak ada yang mudah dan gratis.

Lebih disayangkan lagi sistem penegakkan hukum masih terbilang lemah. UU TPPO Nomor 21 Tahun 2007 yang digunakan untuk menjerat para pelaku nyatanya tak memberi efek jera. Justru mereka lebih kreatif dalam melakukan aksinya. Sistem hukum yang lemah juga memberi celah bagi para pelaku untuk menawar hukum pada pihak yang berwenang.

Sistem sekuler kapitalis telah terbukti gagal memberantas tindak TPPO. Justru Islam yang memiliki aturan yang lengkap ketika diterapkan mampu memutus mata rantai TPPO hingga ke akar. Yakni dengan memperkuat peran keluarga dengan membangun keluarga berlandaskan aqidah Islam. Sehingga menghasilkan individu yang taat. Tidak mudah terbujuk rayu oleh kesenangan semu. Kumpulan individu yang taat akan membentuk masyarakat yang Islam. Peduli terhadap sesama dan sadar akan pentingnya nahiy munkar, sehingga tidak akan membiarkan kemaksiatan merajalela.

Dan yang tak kalah penting adalah peran negara sebagai institusi tertinggi sudah seharunya memberikan jaminan keamanan. Memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku. Disisi lain negara berkewajiban memberikan kehidupan yang layak bagi warganya dengan menyediakan kebutuhan dasar yakni sandang, pangan dan papan.

Dan yang tak kalah penting yaitu penerapan sistem ekonomi Islam yang akan memberikan berkah serta menyediakan pendidikan yang berkualitas. Sistem Islamlah jawabannya. Ketika sistem sekuler telah gagal membentuk peradaban yang memanusiakan manusia. Maka saatnya beralih pada sistem Islam dengan menerapkan syariah secara kaffah.

Wallahu ‘alam bishowab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis