Mewaspadai Jebakan Utang Pendongkrak Mutu Pendidikan

Oleh. Tety Kurniawati

(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

LensaMediaNews-  Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$250 juta atau setara Rp3,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp14 ribu per dolar AS) untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia. Menurut Lukman, pengembangan madrasah tidak akan optimal jika hanya mengandalkan anggaran negara. Pasalnya, keterbatasan dana mengakibatkan pengembangan madrasah lebih terpusat pada pengembangan bangunan fisik, belum ke arah kualitas pendidikan.

“Untuk menyiapkan sarana fisiknya saja, APBN kita tidak cukup. Apalagi, bicara kualitas guru, sistem rekrutmen siswa, standardisasi siswa, dan membangun sistem informasi dan teknologi yang lebih baik,” kata Lukman saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senin (24/6) lalu ( cnnindonesia.com 26/6/19).

Fenomena keterbatasan dana ditengah rendahnya kualitas madrasah tersebut kiranya menjadi bukti akan minimnya tanggungjawab dan kepedulian negara dalam memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan sebagai salah satu pilar penyokong peradaban. Negara sebagai pengusung sistem ekonomi Neoliberalisme-Kapitalisme sesungguhnya telah mereduksi perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi. Alih-alih berupaya membangun dan mengembangkan sistem pendidikan yang murah dan berkualitas dengan pembiayaan mandiri. Negara justru melepaskan tanggungjawab pembiayaan pendidikan kepada organisasi kreditur internasional.

Alhasil pendidikan yang notabene merupakan proses sistematis pencerdasan kehidupan bangsa. Demi terlepas dari berbagai bentuk penindasan dan penjajahan. Justru didanai dengan utang luar negeri yang berpotensi menjerumuskan negara dalam perangkap Neokolonialisme. Celah intervensi atas arah pendidikan Islam pun terbuka lebar. Corak pendidikan madrasah bisa dipastikan akan makin berkiblat pada barat yang Sekuler Materialistik. Salah satunya pendidikan ditujukan untuk menyiapkan calon pekerja. Sebagaimana yang tersirat pada pernyataan Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A Chaves mengungkapkan proyek ini merupakan komponen penting dari upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat modal manusia, serta meningkatkan mutu sistem pendidikannya. “Mencari cara bagi sekolah untuk membelanjakan anggaran dengan lebih baik sangat penting untuk membantu anak-anak Indonesia memperoleh hasil pendidikan yang lebih baik, sehingga mereka akan semakin sukses di pasar tenaga kerja,” ujar Chavez dalam keterangan resmi bersama ( cnnindonesia.com 26/7/19).

Berbeda dengan sistem Neoliberalisme Kapitalisme. Islam mengatur pembiayaan pendidikan ditiap jenjang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Tak terkecuali pembiayaan pendidikan, terkait gaji pengajar, pendanaan pembangunan infrastruktur serta berbagai fasilitas penunjang pendidikan. Kesemuanya wajib di upayakan pemenuhannya oleh penguasa muslim sebagai hak rakyat. Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggungjawab atas gembalaannya itu” (HR Muslim).

Sejarah telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H perguruan-perguruan tinggi dibangun lengkap beserta sarana penunjangnya berupa perpustakaan, auditorium, asrama, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu masih dilengkapi pula dengan taman rekreasi, pemandian, dapur dan ruang makan. Perguruan tinggi tersebut antara lain Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al Nuriyah di Damaskus serta Madrasah An Nashiriyah di Kairo.

Pada era kekhilafan Ustmaniyah kebijakan pendidikan gratis diberlakukan pula oleh Sultan Muhammad Al Fatih. Di konstantinopel dibangun 8 sekolah lengkap dengan asrama siswa, ruang tidur dan ruang makan. Bahkan Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa.

Pembiayaan pendidikan formal di kekhilafan bersumber dari dua sumber : pertama, pendapatan Baitul Maal dari pos fai dan kharaj, ghanimah, khumus, jizyah, dan dharibah; kedua, pendapatan Baitul maal dari pos kepemilikan umum seperti tambang emas, minyak dan gas, hasil hutan dan laut. Jika ternyata dua sumber tersebut tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif terhadap penundaan pembiayaannya. Maka negara dibolehkan berhutang kepada warga negaranya yang memiliki kemampuan.

Demikianlah jika negara ingin membangun pendidikan berkualitas yang terbebas dari intervensi asing dan pembiayaan yang bersifat ribawi. Maka menerapkan sistem pendidikan Islam sebagai pengganti sistem pendidikan kapitalis yang sekuler perlu diwujudkan. Sistem yang mampu menghadirkan generasi-generasi tangguh pengukir peradaban gemilang. Hingga atas ijin Allah masa-masa kejayaan Islam akan kembali terulang.

Wallahu a’lam bish showab. 

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis