Indonesia Diambang Kebangkrutan, Butuh Solusi

 

Oleh: Kunthi Mandasari
(Penulis, Member AMK)

 

LenSaMediaNews– Baru memasuki kuartal I 2019 Utang Luar Negari (ULN) tercatat US$ 387,6 miliar atau sebesar Rp 5.542,6 triliun (kurs Rp 14.300). Atau angka ini semakin tumbuh 7,9% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. (Detik.com, 18/05/2019)

Tak hanya jumlah utang luar negeri yang melonjak tajam. Neraca perdagangan juga tak kalah memprihatinkan. Neraca perdagangan juga mengalami defisit. Bahkan mencatatkan rekor terparah sejak Indonesia meraih kemerdekaan. Selain itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode April 2019 juga mengalami defisit sebesar Rp 101,04 triliun. Defisit ini lebih besar ketimbang periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 54,9 triliun.

Penurunan ekonomi serta melonjaknya utang luar negeri tak lepas dari salahnya tata kelola keuangan negara. Namun, penerimaan pajaklah yang dianggap paling bertanggung jawab atas penurunan ekonomi. Karena penerimaan pajak yang melambat.

Padahal pajak yang dibebankan kepada masyarakat mengalami kenaikan. Seperti pajak kendaraan bermotor hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bahkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) cukup drastis yakni mencapai 300 s/d 400% seperti yang dialami wilayah Palembang, hingga membuat warganya mengeluh. (Detik.com, 22/05/2019)

Tentu ada yang aneh, dengan jumlah pajak yang dibebankan pada rakyat semakin meningkat, justru pendapatan yang diperoleh dari pajak kurang memuaskan. Dan Indonesia kini terancam bangkrut. Pemimpin negeri ini justru sibuk menambah pundi-pundi hutang. Dengan alasan pembangunan infrastruktur dan mendatangkan investor untuk pembangunannya. Serta dalam menambal pembiayaan berbagai keperluan dalam negeri juga melalui utang. Tak heran jika jumlah utang luar negeri setiap tahunnya kian membengkak bahkan melonjak tajam.

Selain itu, penggunaan sistem riba menyebabkan jumlah utang yang dibayar tak ada habis-habisnya justru semakin bertambah banyak. Ditambah lagi penggunaan uang kertas sebagai alat pembayaran. Yang nilai tukarnya dipengaruhi politik negara yang dijadikan acuan serta keamanan Indonesia. Sedangkan saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar tengah anjlok sehingga menambah beban utang.

Seharusnya negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) sekelas Indonesia tidak memiliki utang. Karena dari SDA tersebut bisa menjadikan rakyatnya makmur dan sejahtera. Apalagi Indonesia juga negara yang subur. Berbagai kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi dengan produk lokal tanpa harus melakukan impor.

Sayangnya semua itu hanya ada dalam angan-angan. SDA yang melimpah ruah justru pengelolaannya diserahkan pada asing. Padahal SDA merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki secara individu. Lahan yang subur kini banyak berganti dengan berbagai bangunan. Karena biaya untuk menanam sangat tinggi namun tidak sesuai dengan harga jual yang rendah sebab masa panen selalu berbarengan dengan kebijakan impor.

Meskipun Menteri Keuangan yang menjabat di negeri ini menyabet predikat menteri terbaik serta pemimpin yang memimpin negeri ini termasuk dalam jajaran orang berpengaruh dunia. Namun gelar tersebut tak mampu menolong anjloknya perekonomian di Indonesia. Karena kemerosotan ekonomi di Indonesia tak lepas dari aturan yang diterapkan yaitu sistem ekonomi kapitalis. Dimana kebijakan yang diterapkan lebih memihak kepada pemilik modal. Maka tak heran jika terjadi liberalisasi di sektor SDA untuk asing dan swasta melalui UU pun dilakukan, dihalalkannya riba yang jelas-jelas bisa mengundang murka Allah SWT, serta sejumlah kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Sehingga meskipun orang yang mengambil kebijakan termasuk orang-orang terbaik tidak akan mampu melawan kegagalan sistem yang telah rusak.

Jalan satu-satunya hanya dengan mengganti sistemnya. Dengan sistem terbaik yang pernah ada, yang telah dijamin kesempurnaannya oleh Sang Pencipta dalam QS. Al-Maidah ayat 3. Dengan sistem ekonomi syariah yang telah terbukti mampu mengangkat perekonomian hingga taraf tertinggi dan belum ada sistem yang bisa menandingi keberhasilannya. Yakni di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan ditandai tidak ditemukannya kaum fakir dan miskin. Sementara persediaan harta di Baitul Mal masih melimpah.

Hanya saja, sistem ekonomi syariah tidak bisa diterapkan terpisah dari sistem Islam lainnya. Karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah melalui Khilafah tidak hanya membawa dampak positif terhadap perekonomian namun juga keberkahan atas penerapannya.

Wallahu’alam bishowab.

[Lm/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis