Bertakwa: Lifestyle ala Muslim
Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Founder MCQ Sahabat Hijrah Indramayu, Pegiat Literasi Islam)
LensaMediaNews- Karakter kuat dalam diri seorang muslim sejati adalah takwa. Gigih dalam memegang teguh prinsip agama serta mentaati segala perintah dan larangan Allah. Halal haram pun menjadi patokan keseharian. Buah dari ikrar syahadat, dimana di dalamnya terkandung konsekuensi untuk mengikatkan diri pada syariat (aturan Allah).
Keimanan kepada Allah serta keyakinan akan hari penghisaban, mendorong setiap muslim untuk menyelaraskan lisan dan perilakunya sesuai ketetapan Allah saja. Mendirikan salat meski sesibuk apapun rutininas hariannya. Tidak berani menyentuh makanan haram. Menjaga diri dan keluarga dari harta hasil riba. Menjauhkan diri dari zina. Menjaga aurat agar tidak terlihat oleh mata non mahram. Giat mengkaji Islam serta gemar berdakwah menyampaikan pemahaman Islam. Hingga terdepan dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa yang zalim. Semuanya itu karena panggilan iman semata.
Dalam sebuah buku berjudul Longlife Motivation karangan Fauzan Al-Banjari, ditegaskan bahwa kuat lemahnya dorongan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tergantung kepada kadar motivasi yang dimilikinya. Dan motivasi terkuat bagi manusia adalah mardhatillah (mencari keridaan Allah). Ditopang oleh dalil dalam surat Al Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah….”.
Tentu visi akhirat ini pernah dicontohkan oleh Nabi Saw sendiri. Lihatlah fragmen demi fragmen kehidupan beliau. Meski maksum (terjaga dari dosa) dan sudah dijanjikan surga, namun Nabi Saw, tetap all out dalam menjalankan dan menyiarkan Islam. Setiap helai nafas beliau sarat dengan perjuangan dakwah.
Begitu pula para sahabat, seperti Mush’ab bin Umair. Kecintaannya kepada Islam, membuatnya kehilangan fasilitas dan kenyamanan hidup dari orang tuanya yang kaya raya. Bahkan di akhir hayatnya, Mus’ab ra syahid setelah kedua tangannya tertebas pedang musuh demi mempertahankan Rayah dan pasang badan untuk melindungi Rasulullah Saw dalam perang Uhud.
Tak akan cukup tinta, untuk menyampaikan banyak kisah heroik para kesatria Islam. Segala keringat, air mata, bahkan darah yang tertumpah semua dilandasi oleh motivasi spiritual. Hanya demi mengharapkan wajah Allah, Rabb semesta alam. Motivasi ini tak kenal panas ataupun hujan. Akan terus membakar dan menggelorakan energi perjuangan hingga titik manistato’a (titik darah penghabisan, red).
Namun sayangnya, sejak sistem Islam ditikam dari belakang dan rebah di tahun 1924, kebanyakan umat kini kehilangan jati dirinya. Karakter muslim sejati kian pudar bersama diberlakukannya sistem di luar Islam oleh penguasa. Gaya hidup kebarat-baratan menyulap generasi Muslim menjadi pribadi haus syahwat, hedonis, dan serba bebas. Kecenderungan terhadap hawa nafsu amat tinggi. Bahkan motivasinya sudah bukan lagi mardhatillah, namun lebih ke arah materi serta kepuasan jasmani. Memburu kenikmatan sesaat dan hiburan menjadi “perjuangan” yang dikedepankan.
Dilansir oleh Viva.co.id, 18/5/2019, seorang gamers online berinisial YS ditangkap oleh jajaran Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Perempuan berusia 26 tahun ini ditangkap setelah membobol bank sebesar Rp1,85 miliar lewat sebuah games online, Mobile Legend. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pelaku mengaku uangnya hanya untuk membeli fasilitas yang ada di ML.
Dada boleh bergemuruh karenanya, geram. Seakan tidak habis pikir, bagaimana bisa mempertaruhkan masa depan dunia akhirat hanya karena sebuah game?
Jika hendak meluruskan benang kusutnya, ada serangan ideologi di balik maraknya kegemaran akan game. Semua telah dirancang demi memuluskan satu cita, yakni memberangus Islam. Generasi dijejali dengan permainan dengan efek candu, sehingga fokus pemikiran menjadi sempit, rendah dan kerdil. Sebatas mengejar kepuasan diri dengan berbagai hiburan, salah satunya tersaji lewat game online.
Saat seorang muslim keliru menentukan motivasi hidup dan melepaskan diri dari kepengaturan Islam, maka liberalisasi lifestyle mencengkramnya sekaligus menyeretnya kepada perilaku kriminal. Tentu di titik inilah peran negara dipertanyakan.
Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjaga rakyatnya termasuk generasi muda dari kerusakan. Baik yang dapat mengancam masa depan dunia juga akhiratnya. Jika kewajiban ini ditunaikan, niscaya karakter kuat seorang Muslim akan kembali. Takwa dalam genggaman, jauh dari gaya hidup permisif yang serba bebas dan mempertuhankan kesenangan.
Kunci penting negara ini hanya akan mampu diwujudkan saat negara kembali kepada jati dirinya, dengan visi ideologisnya. Meletakkan dasar kebijakannya hanya pada aturan Allah. Mengembalikan motivasi spiritual ke dalam benak warganya. Sehingga mampu memblokade serangan gaya hidup serba bebas dari luar. Umat akan terjaga dari kerusakan. Takwa menjadi warna sekaligus lifestyle-nya. Mardhatillah pun menjadi fokus utama.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LS/Nr]