Menyoal Polemik Wacana Impor Guru

Oleh : Ifa Mufida

(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)

 

LensaMediaNews- Impor guru yang diwacanakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, memunculkan banyak tanya. Apakah impor guru ini solusi untuk pendidikan negeri ini? atau justru wacana ini akan menimbulkan banyak masalah baru? sebagaimana dilansir dalam situs berita online Tirto.id (12/05/19) Puan Maharani mengatakan pada momen Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas (9/5/2019), “Kami ajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia.”

Banyak pihak yang menyayangkan wacana ini. Dilansir dari Republika.co.id,12/05/19, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim mengkritik rencana mengundang guru dari luar negeri guna mengajar di Indonesia. Dia menilai wacana impor guru sebagai hal yang kurang tepat terlebih di tengah tidak terselesaikannya polemik guru honorer. Tentu ini seperti menabur garam pada luka tenaga pengajar Indonesia, khususnya mereka yang masih belum berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Ramli Rahim juga menyebutkan asumsi data sarjana kependidikan yang bisa dihasilkan negeri ini dalam setahun bisa tembus sekitar 300.000 orang dari jumlah mahasiswa kependidikan sekitar 1,44 juta tersebar di kurang lebih 429 LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) baik negeri maupun swasta. Lulusan tenaga kependidikan tersebut ironisnya harus melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan untuk bisa mendapatkan tempat yang bisa memberdayakan potensi mereka. Karena dari 300 ribu lulusan sarjana kependidikan, negara hanya mampu menyerap sekitar 40.000 per tahunnya. Artinya akan banyak sarjana pendidikan yang mengalami hibernasi profesi.

Dengan kenyataannya seperti itu, sudah sepatutnya seorang pemimpin negeri ini merasa prihatin dan menjadikan fokus pemerataan guru di semua wilayah Indonesia lebih tertata dibandingkan harus menambah luka baru bagi calon guru di negeri ini. Senada, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim menyampaikan bahwa kondisi Indonesia tidak kekurangan guru. Menurutnya jika Impor guru benar-benar terealisasi, artinya pemerintah putus asa dalam memperdayakan guru dalam negeri.

Wacana impor guru, tak jauh berbeda dengan nasib petani lokal yang akhirnya harus gigit jari karena tidak bisa menikmati hasil panennya akibat besarnya kran impor pangan yang dibuka oleh pemerintah. Padahal, harusnya pemimpin negeri bisa memuliakan petani di negerinya, seperti juga bisa memuliakan para pahlawan tanpa tanda jasa di negerinya. Namun nyatanya, ketika negeri ini terikat dengan konstelasi politik dunia yang berdasar kapitalisme, hal tersebut menjadi mustahil terwujud. Terlebih setelah Indonesia terikat di dalam perjanjian pasar bebas. Selain itu, pengelolaan pendapatan negara berdasar kapitalis, menjadikan seolah sulit untuk menyejahterakan para guru. Belum lagi, carut marut dunia pendidikan kita akibat diambilnya sekularisme sebagai dasar pijakan kurikulum pendidikan. Sistem Pendidikan sekuler nyata telah gagal mencetak generasi yang berkualitas, generasi tangguh yang punya karakter yang kuat dan sebagai problem solver di dalam masyarakat.

Hal ini sangat berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam. Dalam Islam, problem yang dialami guru akan teratasi terlebih guru memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia disisi Allah SWT. Dengan pandangan ini pula, negara berusaha untuk bisa mencetak guru-guru yang berkualitas, karena kualitas generasi penerus tergantung pendidikan yang diberikan oleh para guru tersebut. Dengan konsep pendidikan Islam pula, pemimpin tidak begitu mudah membuat kebijakan untuk mendatangkan guru asing untuk mendidik anak-anak di negaranya.

Permasalah kesejahteraan para guru juga akan sangat diperhatikan dalam Negara Islam. Sangat jauh berbeda dengan sistem kepitalisme yang nyata gagal menyejahterakan para guru. Sejarah menunjukkan bahwa guru dalam naungan kepemimpinan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari Negara. Tercatat, dimasa kekhalifahan Umar Bin Khattab, seorang guru diberi gaji 15 dinar per bulan (1 dinar=4,25 gr emas;15 dinar=63,75 gr emas; bila sekarang ini 1 gr emas Rp.500.000, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp.31.875.000). Belum lagi untuk seorang guru atau ulama yang berhasil menyusun kitab ajarannya, dihargai dengan emas seberat buku yang diterbitkannya.

Tidak hanya mendapatkan gaji yang besar, negara dalam naungan kepemimpinan Islam juga menyediakan sarana dan prasarana secara gratis dan mudah dalam menunjang kualitas dan profesionalitas guru. Sayangnya, kesejahteraan guru tersebut tidak akan didapatkan jika islam tidak diterapkan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Karena sistem pendidikan juga terikat dengan sistem ekonomi dan politik Islam. Maka hanya dalam naungan kepemimpinan Islam kesejahteraan itu akan tercapai.

Wallahu A’lam bish shawab

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis