Mewujudkan Pemimpin dalam Islam

Oleh: Nursiyati, A.Md.Kom

 

LensaMediaNews- Pemilu telah lewat, saat ini kita disajikan dengan banyak pemberitaan terkait pemilu baik dari segi hasil pemilu maupun bentuk-bentuk keganjilan dan keanehan pra maupun pasca pemilu. Seperti yang ditulis pada salah satu laman tirto.co.id bahwa penyelenggaraan pemilihan umum 2019 di sejumlah daerah mengalami kendala.

Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu. Deretan kasus ini menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berjalan langsung. Dari data yang dihimpun oleh Tirto, ada belasan kabupaten/kota yang terhambat melaksanakan pemilu karena kegagalan KPU tersebut. Kasus pertama terjadi di kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

Ketua KPU TTU, Paulinus Veka mengatakan ada kekurangan surat suara untuk surat suara Presiden dan surat suara anggota DPRD kabupaten untuk empat daerah pemilihan. “Waktu memang sudah tinggal satu hari lagi, tetapi kami hanya bisa menunggu pengiriman logistik pengganti dari KPU RI,” kata Paulus seperti dilansir Antara, 15 April 2019 (tirto.co.id/15/04/2019).

Selain itu Pemilihan pemimpin dalam demokrasi sangat rentan dan berbiaya mahal, rentan kecurangan (menghalalkan segala cara) bahkan menimbulkan korban yang sampai saat ini seperti yang di sampaikan oleh sekretaris jenderal KPU bahwa “Update data jumlah anggota KPPS wafat sampai saat ini 304 orang, sakit 2.209 orang. Total 2.513 orang,” ujar Sekretaris Jenderal KPU RI Arif Rahman Hakim kepada wartawan (cnn.indonesia/29/04/2019).

Inilah pemimpin dalam demokrasi yang menerapkan aturan buatan manusia. Memimpin secara berkala (5 tahun maksimal 2 periode) yang menerapkan pembagian kekuasaan dan ini termasuk hal yang sangat bertentangan dengan prinsip yang telah di emban oleh kaum muslim sebagai penduduk terbanyak di Indonesia.

Berbeda dengan Islam, yang mengharuskan kedaulatan berada pada hukum syara dan berdasarkan atas kehendak dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Islam sebagai agama yang paripurna dalam memilih pemimpin. Dalam Islam memilih seorang pemimpin memang melibatkan rakyat tetapi bukan untuk menjalankan kehendak rakyat tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syara.

Rakyat diwakili oleh Majelis Umat, bukan sebagai legislatif, mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan sakwa (komplain) bagi yang non-muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri dari pria, wanita, muslim dan non-muslim. Maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua hal yaitu pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi umat.

Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat laki-laki, muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat.

Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman Umar atau dua sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat.

Mahkamah Mazalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh Mahkamah Mazalim diserahkan kepada Majelis Umat.

Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun sudah terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib membai’atnya dengan bai’at tha’at.

Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka (globalmuslim.web.id/2014/01).

Sehingga membaca pemaparan di atas betapa sempurnya Islam mengatur pemilihan pemimpin, dan hal tersebut dapat dipastikan bahwa pemilihan pemimpin dalam Islam bebas dari banyak penyimpangan dan tidak membutuhkan biaya yang sangat mahal dan itu hanya bisa tercapai jika negara menerapakan sistem Islam.

Wallahu’alam bishawab

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis