Pemilu Serentak 2019: Akankah Duka Berujung Sejahtera?

Oleh : Rosmiati

 

LensaMediaNews- Pemilihan Umum di Indonesia cukup rumit dan paling menakjubkan dunia karena skalanya yang besar dan dilaksanakan dalam satu hari (Lowy Institute, Lembaga kajian Austaralia). Ungkapan Lembaga institute kajian Australia tersebut merupakan apresiasi pujian bagi bangsa Indonesia atas terselenggarakannya pergelaran pesta demokrasi. Namun, tidak dengan pesta kali ini. Bagaimana tidak, ada beberapa daerah di Indonesia yang belum menerima logistik pemilu sampai sampai pada hari H. Alhasil pada tanggal 17 April lalu ada sebagian wilayah di Indonesia yang tidak bisa melaksanakan pencoblosan serentak. Daerah lain yang telah menerima logistik jauh sebelum hari H juga nampaknya tidak begitu bahagia. Sebab logististik yang dikirim tidak luput dari kecacatan. Seperti, kurangnya kertas suara, kertas suara rusak, dan telah tercoblos serta kotak suara yang tidak layak pakai (Tirto,id 17/04/2019).

Disamping itu, komisi pemilihan umum (KPU) mengungkapkan bahwa ada 90 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia dan 374 jatuh sakit. Bahkan 15 personil kepolisian pun gugur dalam mengawal jalannya pemilu tahun ini. Sebuah fenomena yang baru terjadi di pemilu kali ini dan cukup menghebohkan publik. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Tak bisa dipungkiri bahwa pemilu tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini pemilihan presiden dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) pada waktu yang sama. Itulah mengapa banyak petugas KPPS kewalahan dan kelelahan. Bayangkan saja, jika dalam satu tempat pemungutan suara (TPS) memiliki daftar pemilih tetap (DPT) berjumlah 300 orang, maka akan ada 1500 surat suara yang harus dihitung. Jumlah yang sangat fantastis, bukan?

Di India misalnya, pemilihan umum berlangsung selama enam pekan. Mengingat tingginya angka pemilih. Indonesia dan India merupakan dua negara yang kian menjadi sorotan dunia dalam hal pemilihan umum. Diakui oleh BBC.com (15/04/2019), birokrasi India dan Indonesia dikenal lemah dalam berkoordinasi, tetapi dalam hal pemilihan umum kedua negara ini dikenal efisien dan andal. Akan tetapi, dengan fakta pemilu serentak tahun ini, apakah negeri kita masih diapresiasi sebagaimana ungkapan diatas?

Meninggal memang sebuah ketetapan yang telah Allah Swt gariskan dimana tidak ada seorang hamba yang mampu menghentikannya. Begitu pula dengan gugurnya 90 anggota KPPS, memang itu sudah takdir Allah. Namun, terlepas dari semua itu, kelelahan akibat menjalankan tugas mengawal pemilu kian disebut-sebut sebagai penyebabnya.

Diakui oleh salah satu petugas KPPS bahwa bekerja sebagai pengawal pemilu cukup berada dibawah tekanan. Mereka harus benar-benar memastikan pemilu yang berlangsung, jauh dari kecurangan dan kesalahan sebab yang bertarung merupakan figur-figur terbaik bangsa apalagi pada kandidat capres dan cawapres. Selain itu, hasil kinerja mereka juga turut menentukan nasib bangsa dan rakyat Indonesia kedepannya. Alhasil sebagian besar petugas KPPS begadang semalam suntuk bahkan aktivitasnya masih berlanjut sampai pagi hingga siang hari.

Perjuangan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun, miris ketika melihat sikap durjana para wakil rakyat ketika duduk di kursi kekuasaan yang masih saja sibuk membangun surganya sendiri hingga memakan uang rakyat (korupsi). Padahal dahulu rakyat telah memperjuangkannya hingga meregang nyawa.

Jalannya pemilu tahun ini merupakan salah satu potret abainya janji-janji demokrasi yang katanya memperjuangkan nasib rakyat, nyatanya rakyat sendirilah yang berkorban demi mensukseskan agenda akbar demokrasi. Pengorbanan rakyat nampak tak sebanding dengan apa yang penguasa berikan. Dimana ketika rezim berganti nasib rakyat tak banyak yang berubah malah semakin hari luka itu kian menganga dan bahkan menjalar, menggerogoti sendi kehidupan lainnya. Sementara para konglomerat kian riang berpesta.

Hal ini harusnya menjadi warning bahwa perubahan atau pergantian rezim tidak mampu membawa rakyat ke depan gerbang kemakmuran. Jika ada, maka itu hanya segelintir orang yang bermodal besar. Dan hal ini tentu tidak dapat dijadikan sebagai standar bahwa kurva kesejahteraan kian membaik. Namun, justru sebaliknya hal ini menjadi bukti suburnya tingkat ketimpangan sosial dalam kehidupan. Ada yang bahkan mampu membeli pulau. Namun, ada pula yang tak mampu membeli sesuap nasi dalam sehari.

Pada pemilu tahun ini pun rakyat habis-habisan berkorban baik waktu, tenaga, materi hingga nyawa. Padahal, kemenangan dalam pesta tersebut bukan untuk mereka (baca: rakyat), melainkan untuk para pemilik modal besar yang hobinya meraup kekayaan negeri. Sebagaimana ungkapan salah satu tokoh, bahwa dalam setiap pemilu, ada partai-partai asing yang juga ikut dalam kontestasi. Tentu partai mereka tidak tertulis secara nyata diatas kertas surat suara. Melainkan kepentingan mereka ada disana. Lalu, akankah duka berujung sejahtera?

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis