Bullying Merajalela, Mengapa dan Harus Bagaimana?

Oleh: Wati UmiDiwanti

 

Kasus kriminal remaja kembali terjadi. Audrey, seorang siswi SMP yang menjadi korban kekerasan oleh beberapa orang siswi SMA. Yang membuat lebih menyedihkan, seolah tak berdosa tersangka malah asik bercanda, bahkan sempat membuat boomerang ketika ditangkap oleh pihak berwajib dan dibawa ke kantor polisi (tribunnews.com, 11/04/2019).

Meskipun kemudian terjadi simpang siur berita, permintaan maaf yang akhirnya mereka ucapkan membuktikan bahwa mereka benar telah melakukan kezaliman meski kadarnya (mungkin) tidak sebagaimana berita awal. Kasus ini bukan pertama kalinya. Banyak kasus serupa bahkan lebih sadis.

Kasus Yuyun yang beberapa waktu lalu sempat viral juga merupakan kriminalitas remaja. Padahal di tangan merekalah masa depan bangsa ini disandarkan. Sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan.

Jika kita bercermin pada masa sahabat, maka akan kita dapati kisah Tsa’labah. Seorang pemuda di zaman Rasulullah saw yang pergi mengasingkan diri karena merasa berdosa. Suatu malam ia berajalan tanpa sengaja menatap ke sebuah rumah. Ternyata di sana ada perempuan yang sedang mandi.

Diceritakan oleh penduduk tempat ia mengasingkan diri, bahwa setiap malamnya pemuda itu meletakkan tangan di kepalanya dan meminta agar Allah menghukumnya segera. Rasulullah saw yang merasa kehilangan meminta para sahabat untuk mencarinya. Setelah ditemukan, Tsa’labah menemui Rasul yang sedang salat.

Saat Rasul membaca ayat tentang neraka, ia pun pingsan. Saat tersadar dia langsung berucap, “Dosaku, wahai Rasulullah, amatlah besar.” Setelah itu Tsa’labah sakit keras mengenang dosanya tersebut. Padahal itu tidak ia sengaja dan tidaklah sampai menyakiti korbannya.

Demikian pula seorang remaja bernama Nashr ibn Hajjaj di jaman kekhilafahan Umar Bin Khatab ra. Tanpa sengaja jatuh hati pada seorang perempuan yang telah bersuami. Lalu saling mengungkapkan isi hatinya lewat tulisan di atas pasir. Hal itu diketahui oleh sang suami si perempuan. Seketika itu Nashr ibn Hajjaj pergi dari kampung tersebut dengan malu yang luar biasa dan rasa berdosa yang sangat besar.

 

Mengapa Kriminalitas Zaman Now Berbeda?

Lain dulu, lain sekarang. Maraknya kriminalitas yang terjadi dewasa ini bermuara pada sistem sekuler dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjauhkan generasi muslim dari keterikatannya pada nilai-nilai Islam. Mereka sangat jauh dari adab dan akhlak Islami. Lingkungan sosial yang juga terbentuk dari asas sekuler telah memenjarakan aturan Allah hanya di rumah-rumah ibadah. Maka pemakluman pada usia remaja yang labil dan emosional seolah menjadi kesepakatan bersama. Sehingga masyarakat menganggap sah-sah saja remaja berbuat apa saja sesukanya.

Sanksi hukum yang diberlakukan pada pelaku kriminal pun tak bertaring. Padahal sejatinya, sanksi hukum ini mampu mencegah perbuatan kriminal meningkat. Jika kita telisik lebih jauh, bisa kita lihat pada dua hal. Pertama, dari segi jenis sanksi yang dijatuhkan. Secara umum hukum buatan manusia yang diberlakukan saat ini tidak mampu memberikan efek jera. Dimana kasus demi kasus seolah, “diadili satu, tumbuh seribu”. Ini bukti bahwa hasil sanksi yang ada tidak memiliki efek sama sekali. Kedua, hukum warisan Barat yang diadopsi negara saat ini telah mendikotomi sanksi berdasar usia. Mereka yang belum berumur 18 tahun masih terkategori usia anak-anak. Sehingga remaja dalam usia ini akan diperlakukan berbeda di hadapan hukum, meski kejahatan yang mereka lakukan serupa dengan orang dewasa.

 

Islam Mencegah Kriminalitas

Dalam Islam pemberian sanksi itu berlaku umum sebagaimana ketetapan hisab Allah atas pahala dan dosa. Untuk semua usia kecuali tiga, sebagaimana termaktub dalam hadis. “Diangkat pena dari tiga golongan; dari orang yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia baligh, dan dari orang gila hingga dia berakal waras.” (HR. Abu Dawud)

Batasannya jelas, baligh. Tidak ada perlakuan khusus untuk remaja yang membuat mereka semakin tidak peka dengan dosa. Orangtua selaku pendidik pertama harus menyiapkan anak untuk siap menanggung semua taklif hukum sedini mungkin. Sehingga saat anak baligh, mereka sudah tahu apa saja aturan Allah yang mereka terikat padanya. Dan siap untuk menanggung resiko jika keluar dari ketetapan tersebut.

Dalam hal ini anak diajarkan bagaimana Islam memerintahkan untuk saling menyayangi sesamanya sebagaimana menyayangi dirinya sendiri. Bahkan menjadikan cinta pada sesama sebagai bagian dari keimanan seseorang. Dan adanya larangan untuk saling membahayakan diri dan orang lain. Anak juga diajari bagaimana cara menyelesaikan masalah sesuai tuntunan syariat, bukan dengan memperturutkan hawa nafsunya.

Di sisi lain pemberlakuan hukum peradilan oleh negara haruslah berdasar pada hukum syariat. Hukum yang telah terbukti mampu berfungsi sebagai jawajir (pemberi efek jera) dan jawabir (penghapus dosa bagi pelakunya) mampu menghapus kriminalitas remaja. Bahkan semuanya. Niscaya akan kita dapati kembali generasi yang takut akan dosa sebagaimana generasi di zaman nabi dan kekhilafahan Islam di masa lalu.

Wallahua’lam bish shawwab. []

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis