Bahkan Nyawa Pun Dijadikan Alat Mencari Keuntungan
Oleh: Fitri Al Hasyim
(Aktivis Dakwah)
Lensa Media News – Badai virus Covid-19 yang menerpa negeri ini, telah memberikan dampak yang besar. Jumlah penduduk yang terpapar bahkan meninggal akibat virus ini juga tidak bisa dianggap sepele. Namun sungguh disayangkan, belum lagi hilang duka di masyarakat akibat musibah yang mereka terima. Kini mereka harus mendapatkan kabar yang memilukan dan semakin menyesakkan dada, mendengar oknum pejabat daerah mendapatkan honor monitoring pemakaman Covid-19.
Honor tersebut jumlahnya pun tidak sedikit, bernilai fantastis, diterima dengan penuh sukacita. Padahal, duka rakyat di tengah pandemi masih terus terasa hingga berakhir dengan kematian. Jumlah honor yang diterima oleh masing-masing pejabat sebesar Rp 70.500.000. Besaran honor tersebut dihitung dari banyaknya kematian pasien Covid-19 dan diberikan atas dasar SK Bupati Nomor 188.45/107/1.12/2021 tertanggal 30 Maret 2021 tentang struktur tim pemakaman jenazah Covid-19 (Regional.kompas.com, 29/08/2021).
Publik dibuat semakin geram dengan peristiwa ini. Bukannya mencari dan menyelesaikan permasalahan penyebaran virus Covid-19 dengan segenap daya upaya. Tetapi justru malah menerima honor Rp100.000 per pasien Covid-19 yang meninggal. Apakah ini termasuk wujud kepedulian para pejabat terhadap penderitaan rakyatnya? Tentu tidak.
Saat kabar penerimaan honor monitoring pemakaman Covid-19 terbuka di hadapan publik, barulah pemerintah bertindak dengan memastikan kepada pejabat terkait tentang honor yang diterimanya itu. Padahal para pejabat tersebut merupakan bagian dari lembaga negara yang memang bertugas melakukan monitoring. Lantas, mengapa harus menerima honor tambahan? Bukankah itu memang tugas mereka?
Dilansir dari kompas.com (29/08/2021), honor tersebut diterima oleh Bupati, Sekretaris Daerah, Plt. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember, serta Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jember. Total keseluruhan honor yang mereka terima mencapai Rp 282.000.000. Meskipun mereka berdalih telah bekerja keras demi pengurusan pemakaman korban Covid-19, namun apakah mereka layak dan dibenarkan menerima honor tambahan tersebut?
Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dan para pejabat untuk menanggulangi wabah selama pandemi, termasuk dalam hal memudahkan pengurusan pemakaman korban Covid. Tanpa harus menimbang-nimbang apakah mereka akan mendapatkan honor tambahan atau tidak. Semua dilakukan atas dasar rasa peduli terhadap penderitaan rakyatnya. Nyatanya, sistem politik demokrasi yang bersumber dari ideologi kapitalisme. Telah merubah standar manusia dalam berpikir dan berbuat. Semua aspek dinilai berdasarkan manfaat. Derita rakyat diabaikan demi memperkaya diri.
Lantas akankah masalah ini selesai dengan hanya mengembalikan honor monitoring dan evaluasi (monev) ke kas daerah? Justru, ini menambah masalah baru selama pandemi.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, mengatakan tak sepatutnya aparatur pemerintah mengambil untung dalam melayani publik, sehingga harus segera ada investigasi (Merdeka.com, 27/08/2021).
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, juga mengatakan hal yang senada, tetapi ia memberi beberapa catatan terkait honor yang diterima oknum pejabat pemerintah. Pertama, fakta tersebut memperkuat dugaan bahwa dana penanganan Covid-19 masuk ke kantong para pejabat dengan anggaran yang besar. Kedua, tidak adanya transparansi penggunaan dana menangani pandemi. Ketiga, tidak adanya sense of crisis dari para pejabat menghadapi kondisi sulit yang tengah dihadapi rakyat (Nasional.kompas.com, 27/08/2021).
Jika para pejabat hilang rasa empati, maka wajarlah jika empati dan rasa suka terhadap mereka juga akan hilang di mata rakyatnya. Berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam memiliki panduan atas orang-orang yang dipilih dan diangkat menjadi pejabat publik. Akan dipilihlah orang-orang yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk mengurusi urusan rakyatnya. Bukan sekadar demi mencari sumber pendapatan lain demi memperkaya diri.
Mereka menyadari dengan betul bahwa amanah sebagai pejabat publik tidaklah mudah dan tidak harus dikeluhkan di hadapan rakyat. Sebagaimana teladan yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab ra., yang malam harinya berdoa dan menangis meminta ampun kepada Allah atas setiap kelalaiannya, sebab kemungkinan masih ada rakyatnya yang belum mendapatkan pengurusan yang baik.
Dalam Islam, pejabat publik bukan hanya memiliki fisik yang kuat, namun juga harus belas kasih dan kasih sayang terhadap rakyat. Siap diganti atau dipecat apabila salah menjalankan tugasnya. Serta berani bertanggung jawab dalam setiap keputusan yang ditetapkan, bukan bermental pengecut dengan mencari-cari pembenaran hingga luput dari sanksi dan pemecatan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM]