Anggaran Diseminasi Pembatalan Haji Puluhan Miliar, Sungguh di Luar Nalar
Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Komunitas Menulis Setajam Pena)
Lensamedianews.com-Semua pihak sudah menerima dan memahami, bahwa keberangkatan haji tahun ini masih ditiadakan. Sebab, pandemi belum juga berakhir. Namun, anehnya jumlah anggaran dana untuk diseminasi atau pemberitahuan pembatalan haji tahun ini jumlahnya di luar nalar. Dengan jumlah Rp12 miliar adalah nominal yang sangat besar di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Di mana banyak masyarakat yang terkena imbas pandemi, hingga kehilangan pekerjaan, dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Dilansir dari fajarnews.co.id (1/9/2021), dalam rapat kerja antara komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di Gedung DPR, Jakarta, pada Senin (30/8/2021) lalu, Menag menyebutkan bahwa anggaran dana desiminasi atau pemberian informasi terkait pembatalan keberangkatan haji tahun 2021 memakan biaya Rp l21 miliar rupiah. Hal ini tentu mengundang banyak komentar dari pihak lain.
Anggaran yang demikian besar, sungguh menentang logika. Sebab, hanya untuk pengumuman saja kenapa biayanya begitu banyak?
Pemborosan Dana ala Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, materi adalah tolok ukur segala sesuatu. Sehingga dalam pemerintahan ala kapitalisme, setiap pembiayaan aktivitas negara pun seolah wajib dianggarkan sebesar mungkin. Apalagi dengan sistem ekonominya menganut bahwa setiap pemasukan harus sama dengan pengeluaran, maka hal itu akan menjadi kesempatan para pemangku kapitalisme mencari sisa anggaran atau keuntungan yang sebesar-besarnya.
Itulah yang menjadi kejanggalan dalam besarnya anggaran dana untuk pemberian informasi pembatalan haji. Dugaan-dugaan pemborosan dana demi mencari keuntungan pun tak terelakkan. Apalagi tidak adanya transparansi dalam pemaparannya.
Dikutip dari detiknews.com (1/9/2021), Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Partai Demokrat (PD) Achmad menyoroti dan mengimentari hal tersebut. Menurut Achmad, seluruh rakyat Indonesia sudah tahu pembatalan itu, jadi tidak perlu mengeluarkan Rp21 miliar di masa Covid ini. Lebih baik dana tersebut dialihkan untuk membantu masyarakat, pondok, penyuluh agama atau yang lainnya. Selain itu, Achmad juga berharap anggaran dana tersebut digugurkan saja.
Senada dengan itu, Ustaz Hilmi Firdausi seorang aktivis dakwah yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah juga menanggapi biaya pembatalan haji tersebut. Ustadz Hilmi menyayangkan besarnya dana, sebab pembatalan itu sudah diketahui masyarakat secara luas. Beliau juga meminta kepada Kemenag untuk transparan dan membuka kepada masyarakat alokasi dana tersebut untuk apa saja (seputartangsel.com, 1/9/2021).
Jika anggaran dana tersebut tetap digelontorkan, maka akan menjadi tambahan bukti bahwa pemerintahan saat ini mengemban kapitalisme. Di mana asas kapitalisme sesungguhnya adalah sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Segala kebijakan seolah tidak ada kaitannya dengan agama atau Tuhan. Maka efeknya, kurangnya kepedulian terhadap rakyat, sebab seakan tidak ada rasa takut kepada Tuhan.
Kebijakan Islam Menyejahterakan Masyarakat
Islam mempunyai seperangkat aturan yang lengkap. Baik skala pribadi maupun negara. Penguasa dalam Islam akan selalu berusaha menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan hukum syariat. Menempatkan Allah Swt. sebagai Al-Khalik dan Mudabbir, Pencipta dan Pengatur segalanya. Termasuk dalam menentukan kebijakan dan mengatur dana untuk jalannya pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.
Pertama, untuk mengumumkan segala sesuatu seharusnya tidak memerlukan biaya yang tinggi. Sebab, melalui departemen penerangan hal itu bisa dilakukan dengan mudah. Apalagi dijaman milenial seperti saat ini, di mana teknologi semakin tinggi. Pemanfaatan teknologi nirkabel akan memudahkan dan mempercepat pemberian informasi kepada masyarakat.
Kedua, pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat di dalam negara Islam adalah sesuatu yang menjadi prioritas. Sebab, sandang, pangan, papan, pendidikan serta kesehatan adalah tanggung jawab negara. Apalagi jika kebutuhan pokok masyarakat belum terpenuhi, maka pengeluaran lain yang kurang penting akan ditunda bahkan ditiadakan.
Begitulah seyogianya sikap seorang pemimpin muslim, mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada pribadi atau kelompoknya. Sebab, masyarakat saat ini masih jauh dari sejahtera. Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja belum mampu sepenuhnnya. Ditambah lagi mereka juga terimbas pandemi, yang seolah semakin mencekik hidup mereka.
Jangan sampai kebijakan demi kebijakan semakin menjadikan jurang pemisah antara rakyat dan penguasa, hingga muncul kebencian dan laknat dari rakyat. Na’udzubillahi mindzalik. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintamu, kamu menghormati mereka dan mereka pun menghormati kamu. Pun sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepada kamu. Kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu.” (HR Muslim) Wallahua’lam bishowab. [LM/Mi]