Sistem Demokrasi Melahirkan Politisi Pengabdi Kursi

Oleh: Sri Retno Ningrum (Pegiat Literasi)

 

Lensamedianews.com– Baru-baru ini publik dikagetkan dengan pemberitaan terkait bergabungnya PAN (Partai Amanat Nasional) di pemerintahan Joko Widodo, seperti yang kita ketahui partai tersebut selama ini menjadi oposisi pemerintah. Adapun oposisi dalam dunia politik adalah partai penantang di dewan perwakilan yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa (Wikipedia).

Sementara itu, Pangi Syarwi Chaniago (Analis Politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center) memprediksi PAN akan mendapat satu atau dua kursi menteri. Artinya, Pangi menilai kemungkinan reshuffle akan terjadi di tubuh kabinet setelah PAN merapat. Pangi pun menambahkan negara tanpa ada kekuatan oposisi tidaklah baik. “Sudah 82 persen koalisi pendukung presiden berkuasa, tinggal PKS dan Demokrat, semoga konsisten tidak jadi tukang stempel dan mengamini semua kebijakan pemerintah.” (Tribunnes, 28/8/2021).

Dengan bergabungnya PAN di pemerintahan Joko Widodo tentu memunculkan pertanyaan bagi umat karena selama ini partai tersebut sangat dominan mengkritik berbagai kebijakan pemerintah. Sehingga perlu dipertanyakan ada apa di balik merapatnya PAN di pemerintahan Joko Widodo?

Diakui atau tidak bahwa sistem demokrasi yang diterapkan di negara ini senantiasa melahirkan politisi-politisi yang haus dengan kursi dan jabatan. Mereka menginginkan jabatan yang tinggi, gaji, dan tunjangan yang besar, fasilitas mumpuni sehingga segala macam cara mereka lakukan untuk mendapatkannya termasuk berkoalisi. Maka dapat disimpulkan bahwa orientasi para politisi adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya materi namun minim menyuarakan aspirasi rakyat.

Tak hanya itu, demi mendapatkan sebuah jabatan dalam sistem ini tidak ada musuh dan teman abadi karena sering kita lihat di berbagai media para politisi saling menghujat bahkan membully satu sama lain namun beberapa minggu atau bulan kemudian saling berpelukan. Artinya, dalam sistem demokrasi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Mereka pun lalai bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat.

Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan dimintai pertanggungjawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini tentu berbeda ketika sistem Islam (Khilafah) pernah tegak di bumi. Pemimpin dalam Daulah Islam (Khilafah) sangat takut ketika mendapatkan amanah tersebut. Misalnya, Umar bin Abdul Aziz diketahui menangis di dekat istrinya (Fatimah) ketika mendapat jabatan sebagai khilafah. Umar berkata “Ya, Fatimah! Saya telah dijadikan penguasa atas kaum muslimin dan orang asing dan saya memikirkan nasib kaum miskin yang sedang kelaparan, kaum telanjang dan sengsara, kaum tertindas yang sedang mengalami cobaan berat, kaum tak kenal dalam penjara, orang-orang tua renta yang patut diberi hormat, orang yang punya keluarga besar tetapi penghasilannya sedikit, serta orang-orang dalam keadaan serupa di negara-negara di dunia dan provinsi-provinsi yang jauh. Saya merasa Tuhanku akan bertanya tentang mereka pada hari kebangkitan dan saya takut atas pembelaan diri yang bagaimanapun tidak akan berguna bagi saya. Lalu saya menangis!” (dikutip Syekh Mohd Iqbal dalam misi Islam (Gunung Jati, Jakarta, 1982).

Tentu kita sangat menginginkan memiliki sosok pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz bukan! Namun hal itu sangat mustahil terwujud ketika negara ini menerapkan sistem demokrasi. Maka sudah selayaknya kita melakukan sebuah perubahan. Yakni, mengganti sistem yang diterapkan sekarang ini kemudian beralih pada sistem Islam (Khilafah). Karena sejatinya, hanya Khilafah yang mampu melahirkan pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai abdi rakyat, sehingga berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim bukan seperti pemimpin dan politisi dalam sistem demokrasi yang senantiasa silau dengan kedudukan atau jabatan. Wallahu a’ lam bisshowab. (RA)

Please follow and like us:

Tentang Penulis