Ada Apa dengan Kemenangan Taliban?
Oleh: Amalia
(Mahasiswa di Malang)
Lensamedianews.com-Setelah jatuhnya Taliban saat invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Loya Jirga pada 2003, Pemerintah AS menamakan Afghanistan sebagai Negara Islam Transisi Afghanistan. Di bawah konstitusi baru, negara tersebut resmi bernama Republik Islam Afghanistan. Sejak saat itu, Afghanistan sejatinya telah menjadi negara boneka AS. Penguasa yang didudukkan AS di sana pun merupakan penguasa bonekanya.
Menurut pengamat politik internasional, Budi Mulyana, S.I.P., M.Si., selama 20 tahun AS menduduki Afghanistan, tidak sedikit biaya yang sudah dikeluarkan AS. Biaya tersebut merupakan biaya yang dipakai untuk operasi melawan pemberontak serta berbagai keperluan pasukan dalam misi militer di Afghanistan sejak 2001. Menurut data pemerintah AS antara 2010 hingga 2012, ketika AS menempatkan lebih dari 100.000 serdadu di Afghanistan, biaya operasi perang berkembang hingga hampir mencapai US$ 100 miliar per tahun. Sedangkan, menurut Dephan AS, total pengeluaran militer di Afghanistan (dari Oktober 2001 hingga September 2019) mencapai US$ 778 miliar. Belum lagi untuk proyek-proyek rekonstruksi yang telah menghabiskan US$ 44 miliar. Oleh karena itu, jika ditotal semua biaya yang dikeluarkan antara 2001 hingga 2019 berdasarkan data resmi mencapai US$822 miliar (bbc.com, 17/08/2021).
Sebagian umat Islam yang tidak memahami dengan benar tentang situasi politik di Afghanistan, justru menyambut dengan senang akan kemenangan Taliban. Bahkan tidak sedikit yang terkena sindrom euforia dengan menganggap hal ini adalah awal kebangkitan kaum muslimin. Taliban seolah-olah membawa representasi dari Islam. Hal ini menjadikan umat Islam lalai untuk memahami langkah dan arah perjuangan Islam yang hakiki.
Perlu diketahui, pada tanggal 29 Februari 2020, telah terjadi perjanjian antara AS dan Taliban. Poin yang paling menonjol dalam perjanjian tersebut ialah, pejabat AS dan Afghanistan mengumumkan bahwa AS dan NATO akan menarik pasukan mereka dari Afghanistan dalam waktu 14 bulan, jika Taliban memenuhi komitmennya berdasarkan perjanjian yang ditandatangani di Doha. Tentu patut dipertanyakan, mengapa AS dan Taliban bisa berkompromi lewat perjanjian tersebut?
Jika dianalisis lebih dalam, sesungguhnya AS berupaya untuk mengamankan kepentingannya di Afghanistan dan di level global. AS juga merupakan negara imperialis yang akan tetap berusaha agar nilai-nilai AS seperti demokrasi, HAM, dan pasar bebas tetap terjaga di setiap negeri muslim. Tampaknya, AS berencana menjalankan targetnya dengan perundingan damai demi menjaga kepentingannya setelah operasi militer di Afghanistan mengalami kegagalan.
Dalam perjuangan Taliban, terlihat bahwa metode yang digunakan dalam memenangkan Islam di negara tersebut adalah keliru. Mereka berjuang menggunakan fisik bahkan untuk melawan penduduk lokal mereka sendiri. Padahal Rasulullah SAW. telah mencontohkan kepada umat Islam bagaimana langkah-langkah menegakkan negara Islam. Metode tersebut dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu pengkaderan, interaksi bersama umat, termasuk di dalamnya mencari dukungan dan pertolongan dari golongan berpengaruh, serta penerimaan kekuasaan dari pemilik kekuasaan. Inilah sunah Nabi Saw. yang menggambarkan tiga tahapan dalam mendirikan negara Islam di Madinah.
Perjuangan Taliban untuk mendirikan negara Islam hendaknya mencontoh metode Rasulullah Saw. tersebut. Bukan justru terikat dengan perjanjian kesepakatan bersama musuh-musuh Islam. Di samping itu, sudah semestinya mempersiapkan umat untuk bersama menegakkan Daulah Islam. Umat muslim haruslah menghentikan seluruh negosiasi dengan AS dan tidak memberikan peluang bagi AS untuk menjalankan kepentingannya di negeri Islam. Umat wajib berjuang menegakkan Islam secara kafah dalam institusi negara Khilafah, yang merupakan kewajiban dari Allah Swt. dan bentuk ketaatan kepada Rasul-Nya. Bukan ditempuh lewat jalan yang diharamkan dalam Islam. Wallahu a’lambisshawwab. [LM/lnr]